Sejak akhir dasawarsa 90-an, di Indonesia muncul bentuk kesenian (seni rupa) yang menggunakan media dan material non-konvensional sebagai medium berkaryanya. Kesenian tersebut semakin berkembang, terutama di wilayah-wilayah yang selama ini menjadi sentra perkembangan seni rupa di Indonesia seperti Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya dan Bali.
Bentuk kesenian ini kemudian dikenal dengan istilah “seni media baru” (new media art). Penggunaan istilah “media baru” terutama menunjuk kepada medium yang digunakan oleh para perupanya yang sangat berbeda dengan medium (konvensional) berkarya seni rupa pada periode-periode sebelumnya yang lebih dulu dikenal seperti: penggunaan kain kanvas dan cat pada lukisan; bahan kayu, batu dan logam pada pembuatan patung; kertas, plat logam dan tinta pada pembuatan grafis dsb.
Salah satu karakteristik bentuk kesenian “baru” ini adalah penggunaan teknologi serta media komunikasi dan informasi sebagai alat, medium dan sumber gagasan penciptaan berkarya seni. Beberapa varian dari kesenian yang tergolong dalam media baru tersebut diantaranya: seni internet (web art), video performance, seni video (video art), cellular art, dan lain sebagainya. Para perupa yang menggeluti jenis-jenis kesenian tersebut umumnya mahasiswa dan alumni perguruan tinggi seni rupa atau setidaknya pernah mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah tinggi seni rupa, baik di dalam maupun di luar negeri.
Di dunia internasional bentuk kesenian dengan karakter pengunaan teknologi serta media komunikasi dan informasi ini telah diakui sebagai bagian dari perkem-bangan (disiplin ilmu) seni rupa. Jurusan atau program studi yang mengkhususkan pada bentuk kesenian ini telah didirikan di beberapa negara dan umumnya dengan menggunakan label multi-media art atau media art. Beberapa event internasional telah diselenggarakan dan diikuti juga oleh perupa-perupa dari Indonesia. Keikutsertaan para perupa Indonesia ini bukan hanya sebagai pertisipan, tetapi telah mendapat pengakuan secara internasional.
Yang menarik, walaupun perupanya sebagian besar berasal dari kalangan akademisi, perkembangan pengetahuan dan praktek bentuk kesenian yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi ini di Indonesia tidak melalui jalur pendidikan formal. Dalam kurikulum pendidikan tinggi di Indonesia tidak ada yang secara eksplisit menyebutkan bentuk kesenian tersebut, kecuali Program Pasca Sarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta yang baru-baru ini membuka Kajian Seni Media. Sedangkan pada tingkat strata satu, kajian dan praktek tentang seni media baru ini sebatas introduksi dalam mata kuliah yang berhubungan dengan sejarah seni (art history) atau teori seni (art theory) dan prakteknya pada mata kuliah eksperimen. Dalam kondisi ini tidak mengherankan kalau hampir seluruh perupa yang menggunaan media komunikasi dan informasi sebagai medium berkaryanya, mengaku mengenal, mempelajari dan memahaminya bukan dari pendidikan formal. Pengetahuan dan keterampilan seni media baru diperolehnya secara otodidak, melihat secara langsung dalam berbagai event dan pameran atau secara tidak langsung melalui berbagai media komunikasi dan informasi.
Sesuai dengan tuntutan perkembangan dunia seni rupa, fenomena jenis kesenian yang menggunakan teknologi komunikasi dan informasi sebagai basis kreatifnya perlu mendapat perhatian, bukan saja dikalangan seniman, tetapi juga di kalangan pendidikan, khususnya pendidikan seni rupa. Demikian pula jika melihat perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang tumbuh dengan pesat dipergunakan untuk mempercepat perkembangan berbagai bidang (disiplin) ilmu, maka tidak berlebihan apabila para pengembang kurikulum pendidikan seni rupa mencoba memasukan jenis kesenian ini dalam kurikulum pendidikannya.
Walaupun dengan mudah para pengembang kurikulum pendidikan seni di Indonesia dapat mengadopsi struktur kurikulum dari berbagai negara yang telah lebih dulu membuka Jurusan atau program studi ini, tetapi mengingat konteks budaya yang berbeda antara satu negara dengan negara lainya, beberapa hal yang berkaitan dengan aspek-aspek historikal, ideologi, karakteristik bentuk, estetika, medium serta pola belajar yang digunakan oleh para perupanya, harus diketahui dan dipahami dengan baik oleh para pengembang kurikulum pendidikan seni rupa. Pemahaman secara holistik akan membantu para pengembang kurikulum untuk membuat sebuah struktur kurikulum yang sesuai dengan konteks atau kultur budaya setempat.
Perkembangan Seni Rupa dan Teknologi Visual
Pertautan yang paling erat antara seni rupa dengan teknologi visual digambarkan dengan sangat baik oleh Pelfrey (1986) dan dalam bukunya Art and Mass Media dan Walker (1996) dalam Art in The Age of Mass Media. Keduanya menguraikan secara teoritis dan historis pengaruh teknologi komunikasi dalam perkembangan seni rupa di Barat. Walaupun keduanya menggunakan perkembangan media massa sebagai alat analisisnya alih-alih teknologi komunikasi dan informasi.
Pelfrey menunjukkan bukti-bukti secara historis untuk menguatkan argumen-tasinya bahwa kelahiran media massa pada awalnya dipengaruhi oleh perkembangan filosofi dan bentuk dalam seni rupa. Perkembangan media massa yang didukung perkembangan teknologi komunikasi dan informasi ini pada gilirannya justru mempe-ngaruhi perkembangan filosofi dan bentuk karya seni rupa.
Perkembangan media komunikasi dalam pembahasan yang berhubungan dengan perkembangan seni rupa di Barat terbagi ke dalam beberapa periode dan dinamai sesuai perkembangan teknologi medianya yaitu: (a) Era Perspektif (perspective age), (b) Era Fotografi (photograpfi age), (c) Era Film (film age), (d) Era Televisi (television age) dan (e) Era Komputer (computer age).
Era perspektif dianggap sebagai era pertama hubungan seni rupa dengan media massa. Pada massa ini ideologi penciptaan dan bentuk-bentuk karya seni rupa mengilhami ideologi, prinsip dan bentuk media massa modern. Objektivitas penggambaran realitas dengan meniru kenyataan alam setepat-tepatnya (mimesis) menjadi salah satu prinsip reportase. Kedudukan seniman disepadankan dengan reporter atau jurnalis. Walaupun dalam perkembangannya seniman mencoba memasukan subjektivitas perasaan atau pengamatannya dalam karya, tetapi hal inipun tetap menjadi bagian dari prinsip kerja seorang jurnalis yang menggunakan subjektivitasnya untuk memilih dan mengkategorikan realitas yang akan diliputnya.
Dalam hal kebentukan, banyak dijumpai visualisasi tokoh, objek, teknik dan gaya yang digunakan seniman pada masa itu mengilhami bentuk-bentuk (visualisasi) yang dihasilkan teknologi komunikasi dan informasi modern saat ini. Sebagai contoh, teknik menggambar mazzacio yang ditemukan oleh Paolo Uccello (1396-1475) yang mengembangkan teknik menggambar perspektif temuan Fillipo Brunelleschi (1377-1446), dengan penggunaan struktur garis untuk menunjukkan bentuk keruangan (dimensi) benda, saat ini digunakan dalam aplikasi program komputer untuk desain tiga dimensi.
Karya dengan tema-tema religius dengan penggambaran adegan menyerupai still photograph, proses penciptaan yang menyerupai kerja seorang sutradara film, penggunaan teknik camera obscura untuk memindahkan objek ke dalam bidang gambar, penggambaran lukisan berseri dan hasil cetakan cukil kayu (wood cut) berwarna yang menyerupai komik dan sebagainya menunjukkan pengaruh seni rupa yang mengilhami bentuk media komunikasi dan informasi pada era berikutnya.
Penemuan fotografi yang sempat dikhawatirkan beberapa seniman pada kenyataannya justru mendorong melahirkan proses, bentuk dan ideologi baru dalam penciptaan karya seni rupa. Bukan sebuah kebetulan bahwa fotografer pertama adalah seorang perupa (pelukis). Inovasi dalam produksi pencitraan ini dalam beberapa hal menggugurkan mitos eksklusif seniman dan patron. Teknologi untuk merekam realitas dengan objektivitas dan keakuratan yang dibawa fotografi, ditambah dengan temuan kamera saku (pocket camera), pas foto dan foto berwarna, membawa ideologi baru, semua orang dapat menjadi seniman.
Penemuan fotografi membawa seniman kepada krisis realisme. Sebagian dari pera seniman tersebut menjadi pesimis dan mengatakan “seni lukis telah mati!”. Sebagian lainnya justru termotivasi untuk melahirkan inovasi baru dalam berkarya. Respon seniman ini kemudian melahirkan dua gaya utama yaitu mereka yang mengeksploitasi karya-karyanya melampaui kemampuan teknologi fotografi untuk merekam realitas, diantaranya dengan menggunakan karya lukisan dalam ukuran yang ekstra besar (saat itu karya foto baru dapat di cetak dalam ukuran yang sangat terbatas) atau membuat bentuk-bentuk visual yang tidak mungkin di hasilkan oleh fotografi.
Secara ideologis muncul pula dua arus besar, yaitu mereka yang mencoba untuk “melawan” kehadiran fotografi dan mereka yang mencoba untuk berkompromi dengan teknologi pencitraan ini. Karya-karya dari kelompok pertama ini lah yang kemudian menjadi cikal bakal seni populer di media massa dan produksi visual untuk kebutuhan –kebutuhan praktis, sedangkan kelompok yang kedua bertahan pada kemurnian karya seni, seni hanya untuk seni (l’art pour l’art). Kedua arus besar ini pula yang kemudian mempertahankan tradisi modernisme dalam seni rupa yang mengkategorikan seni murni dan seni terapan.
Walaupun keterampilan artistik para perupa seni terapan (desainer) tidak berbeda dengan para perupa seni murni, tetapi arogansi tradisi modernisme Barat dalam seni rupa seolah masih menempatkan karya seni terapan—termasuk karya seni tradisi dan non Barat—pada strata di bawahnya.
Perkembangan teknologi citra bergerak yang dibawa film dan televisi pada abad duapuluh mengilhami para perupa di Barat melahirkan bentuk-bentuk karya seni rupa yang menggunakan obyek-obyek dan ikon-ikon seni populer media massa. Langkah ini sebenarnya sudah di dahului oleh perupa dari periode sebelumnya yang menggunakan atau meminjam bentuk-bentuk visual media massa sebagai bagian dari karyanya dalam bentuk kolase. Yang membedakan dengan para perupa sebelumnya adalah penggunaan ikon atau bentuk-bentuk visual media massa oleh para perupa—yang kemudian dikenal dengan Seni Pop (Pop Art) ini—tidak semata-mata persoalan kebentukan, tetapi cenderung sebagai reaksi terhadap kehadiran dan dampak seni populer media massa (film dan televisi).
Paradigma modernisme dalam seni rupa di Barat yang anti tradisi dan non Barat ini pada akhirnya dipandang rigid, kaku dan mengekang kreativitas. Sejalan dengan perkembangan ideologi postmodernisme dengan paradigma multikulturalisme yang di bawanya mendorong para perupa avantgarde melahirkan gerakan seni rupa Kontemporer. Para sejarahwan seni rupa mencatat kemunculan gerakan Kontemporer yang dilatarbelakngi ideologi postmodernisme ini sebagai awal kebangkitan seni rupa dunia. Dalam paradigma Kontemporer (postmodernisme) konvensi-konvensi yang digunakan dalam seni rupa Barat (modernisme) dengan sendirinya digugurkan. Seni-seni tradisi dan non Barat memiliki kedudukan sejajar dengan seni rupa modern yang selama ini tumbuh dan diakui di Barat.
Perlawanan terhadap ideologi modernisme ini juga memicu perubahan paradigma dalam proses, teknik dan bentuk karya cipta. Karya-karya seni diciptakan dengan menggunakan media-media non konvensional yang tidak lazim, eksploitasi tubuh sebagai medium berkarya seni, penggunaan benda-benda temuan (found object) dsb. Pada era inilah di Jerman, Nam June Paik, seorang seniman berkebangsaan Korea memperkenalkan penggunaan televisi dan video sebagai medium berkarya seni rupa (Atkins, 1993).
Menurut Katsyuki Hattori, seniman video art dari Jepang, perkembangan seni media baru di negaranya terbagi dalam tiga periode. Generasi perupa video art dari periode pertama (60-70an), menggunakan media ini sebagai kritik sosial dan budaya, termasuk keritik terhadap media itu sendiri, generasi kedua (80-90 an) merayakannya, mencoba berkolaborasi dan menggunakan sebagai bagian integral dari karya-karyanya, pada era ini dunia industri justru memanfaatkan seni, terutama untuk tujuan-tujuan promosi. Adapun generasi pada periode ke tiga (era 90 akhir hingga kini), menggerakkan semangat kolektif untuk mengispirasi masyarakat media baik melalui aksi langsung di ruang publik maupun ruang viartual pada sistem internet (Murti, 2004).
Pada kurun waktu yang sedikit lebih awal, perkembangan seni media baru seperti yang ditunjukkan olah Hattori, terjadi juga di Barat (Eropa dan Amerika). Pada era komputer (computer age), penggunaan teknologi komunikasi dan informasi mengalami perkembangan, tidak semata-mata sebagai alat (tools) untuk memproduksi citra-citra visual dengan lebih efektif dan efisien, tetapi dieksplorasi sedemikian rupa menggunakan segala keunikan dan kelebihan yang dimiliki oleh teknologi ini, yang tidak mungkin dilakukan dengan menggunakan jenis media konvensional sebelumnya, terutama kemampuan untuk menampilkan citra bergerak.
Seni Media Baru dalam Pendidikan Seni
Ideologi posmodernisme yang memicu gerakan Kontemporer pada satu sisi meruntuhkan premis-premis yang berlaku dalam duni seni rupa selama ini. Salah satu diantaranya adalah “kebingungan” untuk mendefinisikan istilah seni itu sendiri secara mendasar. Seminar bertajuk “Apa itu Seni Saat Ini” yang diselenggarakan oleh Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan Bandung pada bulan Juni 2004 yang lalu dengan jelas menunjukkan “kebingungan” peserta untuk menyepakati suatu pemahaman atau konsep yang dapat menjelaskan fenomena seni rupa saat ini.
Pada sisi yang lain, terlepas dari ketidaksepakatan untuk merumuskan konsep seni rupa saat ini, kemampuan teknologi komunikasi dan informasi untuk menstimulus kreativitas berkarya seni merupakan potensi besar dalam pendidikan seni. Potensi laten yang dimiliki oleh teknologi komuniksi dan informasi inilah yang dapat dieksploitasi dalam pembelajaran seni di sekolah-sekolah umum.
Seni Media Baru sangat relevan dalam konteks pendidikan di sekolah saat ini, terlebih jika mengingat mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi sebagai salah satu muatan kurikulumnya diberikan sejak tingkat dasar hingga lanjutan. Dalam konteks kehidupan saat ini dimana penggunaan media komunikasi dan informasi sudah sangat akrab dengan masyarakat, khususnya diperkotaan, eksplorasi gagasan penciptaan karya seni pada tingkat yang paling sederhana sekalipun sangat dipengaruhi kehadiran media-media tersebut.
Paradigma yang berkembang dalam masyarakat kita saat ini cenderung melihat dampak negatif dari media komunikasi dan informasi (televisi dan internet) terutama program televisi yang menunjukkan kekerasan dan pornografi atau situs-situs porno di internet. Walaupun diakui ada beberapa program televisi yang berisi informasi pengetahuan (pendidikan), tetapi kebanyakan orang tua lebih khawatir terhadap dampak negatifnya, bahkan dari acara televisi yang dibuat khusus untuk anak-anak sekalipun.
Tidak terkecuali para pendidik di sekolah, paradigma tersebut di atas mempengaruhi pertimbangan mereka untuk menggunakan teknologi komunikasi dan informasi dalam praktek pembelajaran di kelas. Kalaupun ada, penggunaannya seringkali dalam pemahaman terbatas, umumnya hanya digunakan sebagai alat bantu (Bell, 1997). Dalam pembelajaran seni rupa misalnya, teknologi komunikasi dan informasi digunakan sebagai media instruksional atau pengganti alat berkarya konvensional melalui program-program khusus terutama dalam pembuatan desain seperti pengolahan dan pengaturan gambar atau duplikasi motif-motif tertentu. Pada beberapa kasus (dengan fasilitas yang cukup memadai) digunakan juga untuk memperkaya gagasan dan wawasan dengan mengunjungi beberapa situs internet untuk melihat reproduksi karya seni, biografi seniman atau artikel tentang kesenirupaan.
Di sekolah-sekolah umum pada dasarnya pendidikan seni diberikan dengan tujuan memberikan pengalaman dan melatih kepekaan estetis, mengembangkan kreativitas, melatih keterampilan motorik, dan menumbuhkan serta mengembangkan sikap dan kemampuan apresiatif. Seluruh kemampuan ini diarahkan kepada pencapaian tujuan pendidikan secara umum. Dalam konteks inilah, seni media baru dapat digunakan sebagai alternatif pembelajaran terutama yang berkaitan dengan aspek pengembangan kreativitas dan apresiasi.
Implementasi teknologi informasi dan komunikasi melalui seni media baru dalam kurikulum pembelajaran seni rupa di sekolah pada akhirnya menuntut kreativitas guru sebagai salah satu pengembang kurikulum. Kreativitas ini dibutuhkan untuk menentukan metode pembelajarannya sesuai tingkat perkembangan siswa dan lingkungan belajar di sekolah. Formulasi yang tepat diharapkan akan memberikan hasil belajar sesuai dengan yang diharapkan. Beberapa manfaat yang bisa diperoleh dengan alternatif pembelajaran ini diantaranya adalah:
1. Menghilangkan kejenuhan karena metode pembelajaran dan materi pelajaran yang cenderung sama terutama pada tingkat SMP dan SMA.
2. Memperoleh alternatif berkarya seni yang dapat dilakukan oleh semua siswa termasuk mereka yang dikategorikan “tidak berbakat”.
3. Membantu mengakrabkan siswa dengan teknologi informasi dan komunikasi.
4. Membantu mengarahkan siswa dalam penggunaan teknologi komunikasi dan informasi dengan alternatif kegiatan yang lebih produktif dan bermanfaat.
Penutup
Pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi dalam pembelajaran seni rupa di sekolah melalui alternatif penciptaan karya seni media baru yang diulas dalam uraian di atas umumnya masih berupa gagasan atau introduksi. Hingga saat ini belum ada metode baku yang digunakan untuk mempelajari jenis kesenian ini. Walaupun demikian dapat dipastikan pengenalan terhadap media serta teknologi informasi dan komunikasi merupakan langkah awal sebelum siswa dapat berkreasi menggunakannya.
Kordinasi dengan bidang studi lain patut dipertimbangkan agar dapat lebih memperkaya gagasan berkarya seni melalui media komunikasi dan informasi. Uji coba metode pembelajaran melalui penelitian tindakan kelas dapat digunakan oleh guru untuk memperoleh metode pembelajaran yang paling tepat sesuai dengan situasi dan kondisi siswa maupun sekolah. Sedangkan bagi pengembang kurikulum (pendidikan seni), penelitian terhadap para perupa yang mengunakan media informasi dan komunikasi sebagai medium berkarya seninya dapat dilakukan untuk memperoleh gambaran secara riil bagaimana bentuk kesenian ini dipelajari, proses penciptaan dan teknik berkarya yang digunakannya. Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan atau bahan bagi penyusunan kurikulum pendidikan seni rupa berbasis teknologi komunikasi dan informasi.
DAFTAR PUSTAKA
Alland, Jenny, 2002, The Arts in Schools: Beyond 2000, Queensland: QSA online http://www.qsa.qld.eduau/yrs1-10/kla/arts/pdf/rp-jalan.pdf, diakses Juni 2003.
Barret, Terry, Criticizing Art: Understanding the Contemporary, Mayfield Publishing Company, Mountain View. California, London, Toronto, 1994.
Bell, Malcom & Biott, Colin, 1997, “Using IT in Clasrooms, Experienced Teachers and Student as Co Learners” dalam Somekh, Bridget dan Davis, Niki,(Ed.), 1997, Using Information Technology Effectively in Teaching and Learning, London and New York: Routledge.
DeFleur, Melvin L. & Dennis, Everette E., 1985, Understanding Mass Communication, Boston: Houghton Miffin Company.
Geisert, Paul G. dan Futrell, Mynga K., Teachers, Computers, and Curriculum, Allyn and Bacon, Boston-London, Toronto, Sydney-Tokyo-Singapore., 1995.
Hertz, Richard, Theories of Contemporary Art, Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey, 1985.
Pelfrey, Robert,& Pelfrey, Marry Hall, 1986 , Art and Mass Media, Los Angeles, Harper and Row.
Murti, Krisna, 2004, “Penampakan Media Baru” makalah seminar Apa Itu Seni Saat Ini?, Bandung: Fakultas Filsafat UNPAR.
Rogers, Everett M., Communication Technology, The New Media in Society, The Free Prees, MC Millan, New York, 1986.
Salisbury, David F., Five Technologies for Educational Change, Englewood Cliff, New Jersey.
Schraam, Wilbur, 1984, Media Besar Media Kecil, Alat dan Teknologi Untuk Pendidikan, (Terj.) Agafur, Semarang: IKIP Semarang Press.
Soeteja, Zakarias S., 2003, “Pengaruh Media Massa dalam Penciptaan Karya Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta”, Yogyakarta: Thesis PPs Penciptaan Seni ISI Yogyakarta (tidak di terbitkan)
Sumartono, (et al.), 2000, Outlet,Yogya dalam Peta Seni Rupa Kontemporer Indonesia, Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti.
Uhjana Effendy, Onong, 1992, Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosda Karya.
Walker, Jhon A., 1994, Art In The Age Of Mass Media, London: Pluto Press.
*) Dr. Zakarias S. Soeteja, S.Pd., M.Sn., staf pengajar di Jurusan Pendidikan Seni Rupa-FPBS dan Program Studi Pendidikan Seni- Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia,