Lukisan Basuki Abdullah yang berjudul “Kakak dan Adik”, 1978 ini merupakan salah satu karyanya yang menunjukkan kekuatan penguasaan teknik realis. Dengan pencahayaan dari samping, figur kakak dan adik yang dalam gendongan terasa mengandung ritme drama kehidupan. Dengan penguasaan proporsi dan anatomi, pelukis ini menggambarkan gerak tubuh mereka yang mengalunkan perjalanan sunyi. Suasana itu, seperti ekspresi wajah mereka yeng jernih tetapi matanya menatap kosong. Apalagi pakaian mereka yang bersahaja dan berwarna gelap, sosok kakak beradik ini dalam selubung keharuan. Dari berbagai fakta tekstual ini, Basuki Abdullah ingin mengungkapkan empatinya pada kasih sayang dan kemanusiaan.
Namun demikian, spirit keharuan kemanusiaan dalam lukisan ini tetap dalam bingkai romantisisme.Oleh karena itu, figur kakak beradik lebih hadir sebabagi idealisme dunia utuh atau bahkan manis, daripada ketajaman realitas kemanusiaan yang menyakitkan. Pilihan konsep estetis yang demikian dapat dikonfirmasikan pada semua karya Basuki Abdullah yang lain. Dari beberapa mitologi, sosok-sosok tubuh yang telanjang, sosok binatang, potret-potret orang terkenal, ataupun hamparan pemandangan, walaupun dibangun dengan dramatisasi namun semua hadir sebagai dunia ideal yang cantik dengan penuh warna dan cahaya.
Berkaitan dengan konsep estetik tersebut, Basuki Abdullah pernah mendapat kritikan tajam dari Sudjojono. Lukisan Basuki Abdullah dikatakan sarat dengan semangat Mooi Indie yang hanya berurusan dengan kecantikan dan keindahan saja. Padahal pada masa itu, bangsa Indonesia sedang menghadapi penjajahan, sehingga realitas kehidupannya sangat pahit. Kedua pelukis itu sebenarnya memang mempunyai pandangan estetik yang berbeda, sehingga melahirkan cara pengungkapan yang berlainan. Dalam kenyataan estetik Basuki Abdullah yang didukung kemampuan teknik akademis yang tinggi tetap menempatkannya sebagai pelukis besar. Hal itu terbukti berbagai penghargaan yang diperoleh, juga dukungan dari masyarakat bawah sampai kelompok elite di istana, dan juga kemampuan bertahan karya-karyanya eksis menembus berbagai masa.
Kakak dan Adik / Brother and Sister (1978)
Cat minyak di atas kanvas / Oil on canvas, 65 x 79 cm, Inv. 43/SL/A
Lukisan Affandi yang menampilkan sosok pengemis ini merupakan manifestasi pencapaian gaya pribadinya yang kuat. Lewat ekpresionisme, ia luluh dengan objek-objeknya bersama dengan empati yang tumbuh lewat proses pengamatan dan pendalaman. Setelah empati itu menjadi energi yang masak, maka terjadilah proses penuangan dalam lukisan seperti luapan gunung menuntaskan gejolak lavanya. Dalam setiap ekspresi, selain garis-garis lukisanya memunculkan energi yang meluap juga merekam penghayatan keharuan dunia bathinnya. Dalam lukisan ini terlihat sesosok tubuh renta pengemis yang duduk menunggu pemberian santunan dari orang yang lewat. Penggambaran tubuh renta lewat sulur-sulur garis yang mengalir, menekankan ekspresi penderitaan pengemis itu. Warna coklat hitam yang membangun sosok tubuh, serta aksentuasi warna-warna kuning kehijauan sebagai latar belakang, semakin mempertajam suasana muram yang terbangun dalam ekspresi keseluruhan.
Namun dibalik kemuraman itu, vitalitas hidup yang kuat tetap dapat dibaca lewat goresan-goresan yang menggambarkan gerak sebagian figur lain. Dalam konfigurasi objek-objek ini, komposisi yang dinamis. Dinamika itu juga diperkaya dengan goresan spontan dan efek-efek tekstural yang kasar dari plototan tube cat yang menghasilkan kekuatan ekspresi.
Pilihan sosok pengemis sebagai objek-objek dalam lukisan tidak lepas dari empatinya pada kehidupan masyarakat bawah. Affandi adalah penghayat yang mudah terharu, sekaligus petualang hidup yang penuh vitalitas.Objek-objek rongsok dan jelata selalu menggugah empatinya. Oleh karenanya, ia sering disebut sebagai seorang humanis dalam karya seninya. Dalam berbagai pernyataan dan lukisannya, ia sering menggungkapkan bahwa matahari, tangan dan kaki merupakan simbol kehidupannya. Matahari merupakan manifestasi dari semangat hidup. Tangan menunjukkan sikap yang keras dalam berkarya dan merealisir segala idenya. Kaki merupakan ungkapan simbolik dari motivasi untuk terus melangkah maju dalam menjalani kehidupan. Simbol-simbol itu memang merupakan kristalisasi pengalaman dan sikap hidup Affandi, maupun proses perjalanan keseniannya yang keras dan panjang. Lewat sosok pengemis dalam lukisan ini, kristalisasi pengalaman hidup yang keras dan empati terhadap penderitaan itu dapat terbaca.
Pengemis / The Begger (1974)
Cat minyak di atas kanvas / Oil on canvas, 99 x 129 cm, Inv. 678/SL/C
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Affandi Koesoema (Cirebon, Jawa Barat, 1907 - 23 Mei1990) adalah seorang pelukis yang dikenal sebagai Maestro Seni Lukis Indonesia, mungkin pelukis Indonesia yang paling terkenal di dunia internasional, berkat gaya ekspresionisnya yang khas. Pada tahun 1950-an ia banyak mengadakan pameran tunggal di India, Inggris, Eropa, dan Amerika Serikat. Pelukis yang produktif, Affandi telah melukis lebih dari dua ribu lukisan.
Biografi
Affandi dilahirkan di Cirebon pada tahun 1907, putra dari R. Koesoema, seorang mantri ukur di pabrik gula di Ciledug, Cirebon. Dari segi pendidikan, ia termasuk seorang yang memiliki pendidikan formal yang cukup tinggi. Bagi orang-orang segenerasinya, memperoleh pendidikan HIS, MULO, dan selanjutnya tamat dari AMS, termasuk pendidikan yang hanya diperoleh oleh segelintir anak negeri. Namun, bakat seni lukisnya yang sangat kental mengalahkan disiplin ilmu lain dalam kehidupannya, dan memang telah menjadikan namanya tenar sama dengan tokoh atau pemuka bidang lainnya.
Pada umur 26 tahun, pada tahun 1933, Affandi menikah dengan Maryati, gadis kelahiran Bogor. Affandi dan Maryati dikaruniai seorang putri yang nantinya akan mewarisi bakat ayahnya sebagai pelukis, yaitu Kartika Affandi.
Sebelum mulai melukis, Affandi pernah menjadi guru dan pernah juga bekerja sebagai tukang sobek karcis dan pembuat gambar reklame bioskop di salah satu gedung bioskop di Bandung. Pekerjaan ini tidak lama digeluti karena Affandi lebih tertarik pada bidang seni lukis. Sekitar tahun 30-an, Affandi bergabung dalam kelompok Lima Bandung, yaitu kelompok lima pelukis Bandung. Mereka itu adalah Hendra Gunawan, Barli, Sudarso, dan Wahdi serta Affandi yang dipercaya menjabat sebagai pimpinan kelompok. Kelompok ini memiliki andil yang cukup besar dalam perkembangan seni rupa di Indonesia. Kelompok ini berbeda dengan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada tahun 1938, melainkan sebuah kelompok belajar bersama dan kerja sama saling membantu sesama pelukis.
Pada tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung Poetera Djakarta yang saat itu sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Empat Serangkai--yang terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur--memimpin Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) untuk ikut ambil bagian. Dalam Seksi Kebudayaan Poetera ini Affandi bertindak sebagai tenaga pelaksana dan S. Soedjojono sebagai penanggung jawab, yang langsung mengadakan hubungan dengan Bung Karno.
Ketika republik ini diproklamasikan 1945, banyak pelukis ambil bagian. Gerbong-gerbong kereta dan tembok-tembok ditulisi antara lain "Merdeka atau mati!". Kata-kata itu diambil dari penutup pidato Bung Karno, Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945. Saat itulah, Affandi mendapat tugas membuat poster. Poster itu idenya dari Bung Karno, gambar orang yang dirantai tapi rantai itu sudah putus. Yang dijadikan model adalah pelukis Dullah. Lalu kata-kata apa yang harus ditulis di poster itu? Kebetulan muncul penyair Chairil Anwar. Soedjojono menanyakan kepada Chairil, maka dengan enteng Chairil ngomong: "Bung, ayo Bung!" Dan selesailah poster bersejarah itu. Sekelompok pelukis siang-malam memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-daerah. Dari manakah Chairil memungut kata-kata itu? Ternyata kata-kata itu biasa diucapkan pelacur-pelacur di Jakarta yang menawarkan dagangannya pada zaman itu.
Bakat melukis yang menonjol pada diri Affandi pernah menorehkan cerita menarik dalam kehidupannya. Suatu saat, dia pernah mendapat beasiswa untuk kuliah melukis di Santiniketan, India, suatu akademi yang didirikan oleh Rabindranath Tagore. Ketika telah tiba di India, dia ditolak dengan alasan bahwa dia dipandang sudah tidak memerlukan pendidikan melukis lagi. Akhirnya biaya beasiswa yang telah diterimanya digunakan untuk mengadakan pameran keliling negeri India.
Sepulang dari India, Eropa, pada tahun lima puluhan, Affandi dicalonkan oleh PKI untuk mewakili orang-orang tak berpartai dalam pemilihan Konstituante. Dan terpilihlah dia, seperti Prof. Ir. Saloekoe Poerbodiningrat dsb, untuk mewakili orang-orang tak berpartai. Dalam sidang konstituante, menurut Basuki Resobowo yang teman pelukis juga, biasanya katanya Affandi cuma diam, kadang-kadang tidur. Tapi ketika sidang komisi, Affandi angkat bicara. Dia masuk komisi Perikemanusiaan (mungkin sekarang HAM) yang dipimpin Wikana, teman dekat Affandi juga sejak sebelum revolusi.
Lalu apa topik yang diangkat Affandi? "Kita bicara tentang perikemanusiaan, lalu bagaimana tentang perikebinatangan?" demikianlah dia memulai orasinya. Tentu saja yang mendengar semua tertawa ger-geran. Affandi bukan orang humanis biasa. Pelukis yang suka pakai sarung, juga ketika dipanggil ke istana semasa Suharto masih berkuasa dulu, intuisinya sangat tajam. Meskipun hidup di zaman teknologi yang sering diidentikkan zaman modern itu, dia masih sangat dekat dengan fauna, flora dan alam semesta ini. Ketika Affandi mempersoalkan 'Perikebinatangan' tahun 1955, kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup masih sangat rendah.
Affandi juga termasuk pimpinan pusat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi kebudayaan terbesar yang dibubarkan oleh rezim Suharto. Dia bagian seni rupa Lembaga Seni Rupa) bersama Basuki Resobowo, Henk Ngantung, dan sebagainya.
Pada tahun enampuluhan, gerakan anti imperialis AS sedang mengagresi Vietnam cukup gencar. Juga anti kebudayaan AS yang disebut sebagai 'kebudayaan imperialis'. Film-film Amerika, diboikot di negeri ini. Waktu itu Affandi mendapat undangan untuk pameran di gedung USIS Jakarta. Dan Affandi pun, pameran di sana.
Ketika sekelompok pelukis Lekra berkumpul, ada yang mempersoalkan. Mengapa Affandi yang pimpinan Lekra kok pameran di tempat perwakilan agresor itu. Menanggapi persoalan ini, ada yang nyeletuk: "Pak Affandi memang pimpinan Lekra, tapi dia tak bisa membedakan antara Lekra dengan Lepra!" kata teman itu dengan kalem. Karuan saja semua tertawa.
Meski sudah melanglangbuana ke berbagai negara, Affandi dikenal sebagai sosok yang sederhana dan suka merendah. Pelukis yang kesukaannya makan nasi dengan tempe bakar ini mempunyai idola yang terbilang tak lazim. Orang-orang lain bila memilih wayang untuk idola, biasanya memilih yang bagus, ganteng, gagah, bijak, seperti; Arjuna, Gatutkaca, Bima atau Werkudara, Kresna.
Namun, Affandi memilih Sokasrana yang wajahnya jelek namun sangat sakti. Tokoh wayang itu menurutnya merupakan perwakilan dari dirinya yang jauh dari wajah yang tampan. Meskipun begitu, Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi (Deparpostel) mengabadikan wajahnya dengan menerbitkan prangko baru seri tokoh seni/artis Indonesia. Menurut Helfy Dirix (cucu tertua Affandi) gambar yang digunakan untuk perangko itu adalah lukisan self-portrait Affandi tahun 1974, saat Affandi masih begitu getol dan produktif melukis di museum sekaligus kediamannya di tepi Kali Gajahwong Yogyakarta.
Affandi dan melukis
Semasa hidupnya, ia telah menghasilkan lebih dari 2.000 karya lukis. Karya-karyanya yang dipamerkan ke berbagai negara di dunia, baik di Asia, Eropa, Amerika maupun Australia selalu memukau pecinta seni lukis dunia. Pelukis yang meraih gelar Doktor Honoris Causa dari University of Singapore tahun 1974 ini dalam mengerjakan lukisannya, lebih sering menumpahkan langsung cairan cat dari tube-nya kemudian menyapu cat itu dengan jari-jarinya, bermain dan mengolah warna untuk mengekspresikan apa yang ia lihat dan rasakan tentang sesuatu.
Dalam perjalanannya berkarya, pemegang gelar DoctorHonorisCausadariUniversity of Singapore tahun 1974, ini dikenal sebagai seorang pelukis yang menganut aliran ekspresionisme atau abstrak. Sehingga seringkali lukisannya sangat sulit dimengerti oleh orang lain terutama oleh orang yang awam tentang dunia seni lukis jika tanpa penjelasannya. Namun bagi pecinta lukisan hal demikianlah yang menambah daya tariknya.
Kesederhanaan cara berpikirnya terlihat saat suatu kali, Affandi merasa bingung sendiri ketika kritisi Barat menanyakan konsep dan teori lukisannya. Oleh para kritisi Barat, lukisan Affandi dianggap memberikan corak baru aliran ekspresionisme. Tapi ketika itu justru Affandi balik bertanya, Aliran apa itu?.
Bahkan hingga saat tuanya, Affandi membutakan diri dengan teori-teori. Bahkan ia dikenal sebagai pelukis yang tidak suka membaca. Baginya, huruf-huruf yang kecil dan renik dianggapnya momok besar.
Bahkan, dalam keseharian, ia sering mengatakan bahwa dirinya adalah pelukis kerbau, julukan yang diakunya karena dia merasa sebagai pelukis bodoh. Mungkin karena kerbau adalah binatang yang dianggap dungu dan bodoh. Sikap sang maestro yang tidak gemar berteori dan lebih suka bekerja secara nyata ini dibuktikan dengan kesungguhan dirinya menjalankan profesi sebagai pelukis yang tidak cuma musiman pameran. Bahkan terhadap bidang yang dipilihnya, dia tidak overacting.
Misalnya jawaban Affandi setiap kali ditanya kenapa dia melukis. Dengan enteng, dia menjawab, Saya melukis karena saya tidak bisa mengarang, saya tidak pandai omong. Bahasa yang saya gunakan adalah bahasa lukisan. Bagi Affandi, melukis adalah bekerja. Dia melukis seperti orang lapar. Sampai pada kesan elitis soal sebutan pelukis, dia hanya ingin disebut sebagai tukang gambar.
Lebih jauh ia berdalih bahwa dirinya tidak cukup punya kepribadian besar untuk disebut seniman, dan ia tidak meletakkan kesenian di atas kepentingan keluarga. Kalau anak saya sakit, saya pun akan berhenti melukis, ucapnya.
Sampai ajal menjemputnya pada Mei 1990, ia tetap menggeluti profesi sebagai pelukis. Kegiatan yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Ia dimakamkan tidak jauh dari museum yang didirikannya itu.
Museum Affandi
Museum yang diresmikan oleh Fuad Hassan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ketika itu dalam sejarahnya telah pernah dikunjungi oleh Mantan Presiden Soeharto dan Mantan Perdana Menteri Malaysia Dr. Mahathir Mohammad pada Juni1988 kala keduanya masih berkuasa. Museum ini didirikan tahun 1973 di atas tanah yang menjadi tempat tinggalnya.
Saat ini, terdapat sekitar 1.000-an lebih lukisan di Museum Affandi, dan 300-an di antaranya adalah karya Affandi. Lukisan-lukisan Affandi yang dipajang di galeri I adalah karya restropektif yang punya nilai kesejarahan mulai dari awal karirnya hingga selesai, sehingga tidak dijual. Sedangkan galeri II adalah lukisan teman-teman Affandi, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal seperti Basuki Abdullah, Popo Iskandar, Hendra, Rusli, Fajar Sidik, dan lain-lain. Adapun galeri III berisi lukisan-lukisan keluarga Affandi.
Di dalam galeri III yang selesai dibangun tahun 1997, saat ini terpajang lukisan-lukisan terbaru Kartika Affandi yang dibuat pada tahun 1999. Lukisan itu antara lain "Apa yang Harus Kuperbuat" (Januari 99), "Apa Salahku? Mengapa ini Harus Terjadi" (Februari 99), "Tidak Adil" (Juni 99), "Kembali Pada Realita Kehidupan, Semuanya Kuserahkan KepadaNya" (Juli 99), dan lain-lain. Ada pula lukisan Maryati, Rukmini Yusuf, serta Juki Affandi.
Affandi di mata dunia
Affandi memang hanyalah salah satu pelukis besar Indonesia bersama pelukis besar lainnya seperti Raden Saleh, Basuki Abdullah dan lain-lain. Namun karena berbagai kelebihan dan keistimewaan karya-karyanya, para pengagumnya sampai menganugerahinya berbagai sebutan dan julukan membanggakan antara lain seperti julukan Pelukis Ekspressionis Baru Indonesia bahkan julukan Maestro. Adalah Koran International Herald Tribune yang menjulukinya sebagai Pelukis Ekspressionis Baru Indonesia, sementara di Florence, Italia dia telah diberi gelar Grand Maestro.
Berbagai penghargaan dan hadiah bagaikan membanjiri perjalanan hidup dari pria yang hampir seluruh hidupnya tercurah pada dunia seni lukis ini. Di antaranya, pada tahun 1977 ia mendapat Hadiah Perdamaian dari International Dag Hammershjoeld. Bahkan Komite Pusat Diplomatic Academy of Peace PAX MUNDI di Castelo San Marzano, Florence, Italia pun mengangkatnya menjadi anggota Akademi Hak-Hak Azasi Manusia.
Dari dalam negeri sendiri, tidak kalah banyak penghargaan yang telah diterimanya, di antaranya, penghargaan "Bintang Jasa Utama" yang dianugrahkan Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1978. Dan sejak 1986 ia juga diangkat menjadi Anggota Dewan Penyantun ISI (Institut Seni Indonesia) di Yogyakarta. Bahkan seorang Penyair Angkatan 45 sebesar Chairil Anwar pun pernah menghadiahkannya sebuah sajak yang khusus untuknya yang berjudul "Kepada Pelukis Affandi".
Untuk mendekatkan dan memperkenalkan karya-karyanya kepada para pecinta seni lukis, Affandi sering mengadakan pameran di berbagai tempat. Di negara India, dia telah mengadakan pameran keliling ke berbagai kota. Demikian juga di berbagai negara di Eropa, Amerika serta Australia. Di Eropa, ia telah mengadakan pameran antara lain di London, Amsterdam, Brussels, Paris, dan Roma. Begitu juga di negara-negara benua Amerika seperti di Brasil, Venezia, San Paulo, dan Amerika Serikat. Hal demikian jugalah yang membuat namanya dikenal di berbagai belahan dunia. Bahkan kurator terkenal asal Magelang, Oei Hong Djien, pernah memburu lukisan Affandi sampai ke Rio de Janeiro.
Penghargaan dan lain-lain
Agama: Islam
Istri
Maryati (istri pertama)
Rubiyem (istri kedua)
Anak
Kartika Affandi
Juki Affandi BSc
Rukmini (adik tiri)
Penghargaan
Piagam Anugerah Seni, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1969
DoktorHonorisCausadariUniversity of Singapore, 1974
Dag Hammarskjöld, International Peace Prize (Florence, Italia, 1997)
Museum of Modern Art (Rio de Janeiro, Brazil, 1966)
East-WestCenter (Honolulu, 1988)
Festival of Indonesia (AS, 1990-1992)
Gate Foundation (Amsterdam, Belanda, 1993)
SingaporeArt Museum (1994)
Centre for Strategic and International Studies (Jakarta, 1996)
Indonesia-Japan Friendship Festival (Morioka, Tokyo, 1997)
ASEAN Masterworks (Selangor, Kuala Lumpur, Malaysia, 1997-1998)
Pameran keliling di berbagai kota di India.
Pameran di Eropa al: London, Amsterdam, Brussels, Paris, Roma
Pameran di benua Amerika al: Brazilia, Venezia, São Paulo, Amerika Serikat
Pameran di Australia
Buku tentang Affandi
Buku kenang-kenangan tentang Affandi, Prix International Dag Hammarskjöld, 1976, 189 halaman. Ditulis dalam empat bahasa, yaitu Bahasa Inggris, Belanda, Prancis, dan Indonesia.
Raka Sumichan dan Umar Kayam, buku tentang Affandi, Yayasan Bina Lestari Budaya Jakarta, 1987, 222 halaman. Diterbitkan dalam rangka memperingati 80 tahun Affandi, dalam dua bahasa, yakni Bahasa Inggris dan Indonesia.
Pada karya grafis yang berjuduk “Pasar”, 1957 ini Suromo benar-benar menunjukkan kemampuan tehnik cukilan kayu yang mendekati engraving. Lebih jauh lagi perspektif, pencahayaan, dan detail bentuk-bentuknya telah mencapai keunggulan, sehingga karya seni grafis yang realistik ini terasa hidup. Dalam karya ini dapat diungkapkan keramaian sekaligus suasana dan ciri setting pasar pada tahun 1950-an. Dalam pasar tradisional itu ditampilkan pedagang yang masih menggelar dagangan di tanah atau dengan meja yang sederhana. Dalam keramaian juga terlihat wanita kebanyakan masih berkain kebaya dan kusir andong dalam pakaian tradisional Jawa. Dengan demikian, dalam karya ini, seorang wanita yang memakai rok dan bersepatu, serta anak-anak yang juga memakai rok menjadi kontras sekaligus sebagai tanda perubahan zaman.
Suromo adalah termasuk pelukis yang lahir dan tumbuh lewat pemasakan ide-ide Persagi untuk mengungkapkan realitas kehidupan sosial dengan cara yang impresif. Dalam karya ini jejak manifestasi ide itu masih dapat dirasakan. Hal itu terlihat dari bagaimana ia menangkap realitas kehidupan rakyat di pasar dan mengungkapkannya lewat permainan cahaya atau warna-warna putih yang bergejolak. Tema-tema sekitar kehidupan sehari-hari dan perjuangan kemerdekaan memang banyak dibuat untuk karya grafisnya. Beberapa yang dapat dicatat adalah “Pasar”, “Penghadangan Gerilya”, dan “Pertempuran Gerilya”.
Di masa sekitar revolusi kemerdekaan, selain semangat dalam melukis, Suromo juga mengungkapkan pemikirannya tentang kredo melukisnya di majalah Mimbar Indonesia, 1949. Dalam melukis menurutnya, yang penting adalah isi hati pelukis keluar semua. Keluar dengan cara dan cara siapa tidak penting. Pekerjaan seni bukan kepandaian teknik, bukan kepandaian melukis, tetapi kata hati yang padat karena banyak menahan. Namun demikian, kredo ekpresionisme itu dalam perjalanan waktu juga ikut bergeser oleh zaman dan kekuatan pemikiran tokoh-tokoh yang besar. Pada tahun 1953 Sudjojono mulai melansir ide kembali ke realisme, supaya seni mudah dipahami rakyat. Uniknya Suromo yang mempunyai kemampuan teknik realis ini juga tidak segera terikat dengan kredo yang pernah ditulisnya, namun tetap dalam jiwa mengikuti kata hati. Karya-karya Suromo selanjutnya terus bergerak ke arah impresionisme dan dekoratif.
Pasar / The Market (1957)
Cetak tinta di atas kertas / Printing ink on paper, 33 x 38 cm, Inv. 28/SG/B
Dalam lukisan berjudul “Senja”, 1987, Sudjana Kerton menghadirkan dunia rakyat bawah dalam suatu momen yang unik, yaitu penggembala itik di waktu senja. Dunia itu menjadi unik, karena pelukisnya mempunyai sudut pandangan yang lain, baik secara visual maupun dalam empati jiwanya. Kerton selalu membuat gerak tubuh rakyat jelata dalam deformasi yang mengekspresikan beban hidup, namun sekaligus mengandung kelucuan. Dilatarbelakangi terbenamnya matahari senja dan itik-itik yang berkelompok dalam formasi diagonal, karya ini mengembangkan suasana puitis sekaligus tertekan.
Lukisan ini menunjukkan pencapaian periode terakhirnya, setelah ia pulang ke Indonesia dan bermukim di Bandung. Periode sebelumnya adalah ungkapan-ungkapan yang lebih dekat dengan tren seni lukis barat ketika ia bermukim di Eropa dan Amerika. Dalam periode terakhir itu Kerton lebih banyak mengungkapkan realitas kehidupan rakyat. Dari berbagai objek dan tema yang diangkat, ia seperti tidak habis-habisnya menimba semangat kemanusiaan para tukang becak, buruh, petani, pelacur dam lapisan masyarakat sejenisnya. Namun demikian, bukan hanya kemurungan yang diungkapkan dalam karya-karyanya itu, tetapi juga terangkat nilai-nilai humor dan keunikan hidup. Hal itu bisa dilihat dari gestur-gestur tubuh, deformasi, goresan, dan warna-warna yang kuat, serta mengekspresikan kedalaman.
Cara pengekspresian yang demikian sebenarnya telah dilakukan sebelumnya yaitu sewaktu tinggal di Amerika. Mulai saat itu berkembang pandangan hidupnya tentang perasaan empati terhadap manusia yang didasari tentang kejujuran dalam menangkap kehidupan. Mengikuti kecenderungan abstrak ekspresionisme yang berkembang pada masa itu, Kerton mencari cara pengungkapan bentuk secara individual yang khas. Ia tidak mencari anatomi bentuk manusia itu, tetapi berusaha mengungkapkan psikologi kehidupan yang dijalaninya. Psikologi masyarakat jelata dan marjinal, akhirnya paling banyak menyentub dan mudah menggerakkan impulse estetik Sudjana Kerton. Karyanya yang berjudul “Senja” ini, merupakan salah satu ungkapan psikologi tentang kejujuran dalam menangkap kehidupan tersebut.
Senja / The Dusk (1987)
Cat minyak di atas kanvas / Oil on canvas, 125 x 148 cm, Inv. 201/SL/A
Dalam karya ini Srihadi Sudarsono menghadirkan Borobudur dalam abstraksi lewat gaya pribadinya yang liris ekspresionalistik. Candi Borobudur yang hadir sebagai bentuk monumental dalam warna hitam, terasa mediatif di antara hamparan dataran warna hijau dan keluasan langit biru. Pencapaian abstraksi lewat goresan-goresan kuat pada dinding candi, dan sapuan lembut pada langit dan bumi menghadirkan keheningan spiritual yang khas, seperti lukisan-lukisan Srihadi yang lain. Kejernihan warna-warna yang mencapai atmosfer keheningan itu dapat juga dilihat pada karya-karyanya dalam serial tema “Horizon”.
Lukisan-lukisan awalnya bercorak geometris sintetik seperti pada umumnya murid-murid Ries Mulder. Pada tahun 1960, Srihadi mulai menuju eksperimentasi pada bentuk abstrak lewat tempelan potongan-potongan kertas dan spontanitas warna. Masa ini hanya dilalui sebentar, karena dalam bentuk-bentuk itu kemudian lahir figur-figur yang mengungkapkan sifat liris. Pada tahun 1970-an Srihadi yang cenderung impresionis lewat cat air dan ekspresionis lewat cat minyak dan sering memasukkan unsur simbolik dalam lukisannya.
Menurut para pengamat, kemampuan penghayatan simboliknya itu adalah pengalaman dari sanggar yang terlihat pada lukisannya. Petualangan estetiknya itu mencapai puncaknya pada periode horizon dan objek-objek dalam kekosongan warna. Hal itu merupakan abstraksi mediatifnya pada alam lewat sapuan warna-warna yang lebar dan lembut. Para pengamat sering menghubungkan lukisan-lukisan Srihadi dengan colour field painting, yaitu salah satu manifestasi mazab abstrak ekspresionisme di Amerika. Di samping itu ada juga yang menandainya sebagai manifestasi penghayatan spiritualnya lewat filosofi zen Budhisme.
Lewat periode Horizon, Srihadi terus melakukan eksplorasi objek-objek yang disatukan dalam medan warna yang luas. Berbagai figur penari, barong, dan juga Candi Borobudur, seperti muncul dari tabir warna-warna yang melingkupinya. Objek-objek menjadi sosok puitis yang merenung dalam ruang makrokosmos. Dari tinjauan tekstual, pemaknaan, maupun proses histories penemuan personal style tersebut, lukisan “Borobudur II” ini dapat dianggap sebagai karya yang representative menghadirkan pencapaian estetik Srihadi.
Borobudur II / Borobudur II (1982)
Cat minyak di atas kanvas / Oil on canvas, 95 x 140 cm, Inv. 174/SL/A
Jika pada lukisan “Di depan Kelamboe Terbuka” ekspresi Sudjojono terlihat sunyi tetapi mencekam , maka dalam karya “Tjap Go Meh”, 1940 ini, ia mengungkapkan emosinya dengan meluap-luap. Dalam lukisan karnaval perayaan keagamaan Cina tersebut, selain dihadirkan suasana hiruk pikuk muncul nuansa ironi. Ironi itu bisa sebatas pada karnaval yang meluapkan berbagai emosi secara absurd, namun lebih jauh lagi bisa mengandung komentar ketimpangan sosial. Hal itu mengingat setting sosial tahun pembuatan karya, adalah pada masa depresi ekonomi, tekanan pemerintah kolonial yang makin keras pada para nasionalis, dan euphoria menjelang kedatangan Jepang.
Pada latar depan, terlihat seorang wanita dalam tarian dan gandengan seorang bertopeng, diapit oleh seorang ambtenar yang berdasi dan seorang pemusik bertopeng buaya. Di sisi lain ada seorang kerdil yang berdiri tegak temangu-mangu, sedangkan di latar belakang berombak masa yang berarak dan menari dalam kegembiraan. Walaupun lukisan ini berukuran kecil, namun Sudjojono benar-benar telah mewujudkan kredo jiwo ketoknya dalam melukis. Dalam “Tjap Go Meh” ini terlihat spontanitas yang meluap tinggi. Deformasi orang-orang dalam arakan dan warna-warnanya yang kuat, mendukung seluruh ekspresi yang absurd itu.
Sudjojono dalam masa Persagi dan masa Jepang berusaha merealisir seni lukis Indonesia baru, seperti yang sangat kuat disuarakan lewat tulisan-tulisan dan karyanya. Jiwa semangat itu adalah menolak estetika seni lukis Mooi Indie yang hanya mengungkapkan keindahan dan eksotisme saja. Dengan semangat nasionalisme, Sudjojono ingin membawa seni lukis Indonesia pada kesadaran tentang realitas sosial yang dihadapi bangsa dalam penjajahan. Di samping itu, dia ingin membawa nafas baru pengungkapan seni lukis yang jujur dan empati yang dalam dari realitas kehidupan lewat ekpresionisme. Kedua masalah yang diperjuangkan tersebut, menempatkan Sudjojono sebagai pemberontak estetika “Mooi Indie” yang telah mapan dalam kultur kolonial feodal. Lukisan Sudjojono “Di Depan Kelamboe Terbuka” dan “Tjap Go Meh” ini, merupakan implementasi dari perjuangan estetika yang mengandung moral etik kontekstualime dan nasionalisme. Dengan kapasitas kesadaran dan karya-karya yang diperjuangkan, banyak pengamat yang menempatkan Sudjojono sebagai Bapak Seni Lukis Indonesia.
Tjap Go Meh / Tjap Go Meh (1940)
Cat minyak di atas kanvas / Oil on canvas, 73 x 51 cm, Inv. 515/SL/B
Lukisan ini merupakan abstraksi pemandangan Tanah Lot Bali yang sangat terkenal itu. Akan tetapi, sebagaimana lukisan Rusli lainnya, yang lebih dipentingkan adalah suasana puitis abstraksi objek itu lewat goresan-goresannya yang essensial. Lebih dari itu, Rusli juga sangat menyukai warna, sehingga struktur dan impresi objek-objek itu lahir lewat intensitas warna-warna. Dalam lukisan ini bukit Tanah Lot tersusun lewat jalinan garis-garis warna yang lincah. Untuk merepresentasikan laut, Rusli menggunakan lima tarikan garis besar berwarna biru di sekitar bukit. Dengan meletakkan ego di atas bukit Tanah Lot, Rusli menjadi sempurna sebagai essensialis yang menyeleksi objek-objeknya. Dalam ritme yang lincah, likusan-lukisannya juga selalu terjaga dalam komposisi yang ketat.
Dalam dunia modern, ketika seniman menhadapi berbagai fenomena dunia yang semakin rumit dan semakin cepat perubahannya, maka ia perlu melakukan intensifikasi dalam pengamatannya. Untuk itu dalam pergulatannya dengan objek-objek, pelukis akan melakukan seleksi dan juga proses maturasi (perenungan) pada objek-objeknya. Dalam proses melukis Rusli lebih dahulu menggali objeknya lewat pengamatan dan perenungan. Proses untuk mematangkan perenungan memerlukan waktu lebih lama dibandingkan mengungkapkannya, apalagi dengan teknik ala prima yang sekali gores jadi. Objek yang dituangkan lewat garis-garis transparan dan ditempatkan pada ruang-ruang kosong, menghadirkan kejernihan pergulatan Rusli ketika menangkap esensi objek-objek. Di sinilah para pengamat melihatnya seperti proses melahirkan puisi-puisi Haiku dalam kanvas.
Kecenderungannya yang demikian merupakan fenomena seni lukis liris (curahan hati) yang jarang diikuti pelukis-pelukis lain di Indonesia pada masa itu, yaitu sekitar tahun 1950-an. Untuk itu, waktu ia pameran di Stedelijk Museum Amsterdam, di Kunst Zaal Plaats Den Haag, dan Ismeo Roma, ia mendapat sambutan yang hangat dari para penulis Barat sebagai master dengan teknik yang sempurna. Lukisan Rusli dikatakan sebagai neoimpresionisme, semi abstrak atau kadang-kadang ekspresionistis.
Tanah Lot / Tanah Lot (1977)
Cat minyak di atas kanvas / Oil on canvas, 65 x 50 cm, Inv. 499/SL/B
Lukisan Popo Iskandar “Kucing”, 1975 mengungkapkan salah satu dari berbagai karakter yang pernah dibuat dengan objek binatang. Dengan deformasi yang mengandalkan efek-efek goresan yang spontan dan transparan, binatang itu seakan baru bangkit dari tidur dan mengibaskan badannya. Dengan warna hitam belang-belang putih, kucing ini tampak sebagai sosok binatang yang misterius.
Popo Iskandar adalah dikenal sebagai pelukis yang sangat esensial dalam menangkap objek-objeknya. Namun demikian, kecenderungan itu tidak sama dengan Rusli yang lebih mengadalkan kekuatan garis dan warna. Popo masih mengembangkan berbagai unsur visual lain dan cara pengolahannya. Hal itu bisa dilihat misalnya pada pengolahan nilai tekstur, efek-efek teknik transparan atau opaque dalam medium cat, maupun pengolahan deformasi dan komposisi objek-objeknya. Di samping itu, pelukis ini juga selalu melakukan penggalian psikologis untuk menampilkan esensi dan ekspresi objek yang akan dilukis. Dengan demikian karakter objek-objek itu bisa diungkapkan secara khas. Dalam serial kucing, ia menggali esensi binatang jinak, lucu, indah bahkan juga bisa memancarkan sifat-sifat misterius.
Dalam penghayatan objek-objeknya, Popo memang berhasil menampilkan karakter-karakter yang esensial. Dengan demikian dapat dilihat misalnya, ia begitu piawai menampilkan kegagahan, kejantanan, dan nilai-nilai artistik pada objek ayam jago dan kuda. Dalam intensitas penghayatan juga dapat dilihat bagaimana rumpun-rumpun bambu yang ramping menjadi irama yang puitis dalam kanvasnya. Dari berbagai serial objek-objek itu, yang paling fenomenal dan akhirnya menjadi ciri identitas kepelukisan Popo Iskandar adalah objek kucing. Dalam seni lukis modern Indonesia, pelukis Popo oleh para pengamat dimasukkan sebagai seorang modernis yang berhasil meletakkan azas kemurnian kreativitas individual dalam karya-karyanya. Esensi karakteristik dari objek-objek dalam ruang imajiner itu merupakan tanda yang kuat dalam pencapaiannya.
Kucing / The Cat (1975)
Cat minyak di atas kanvas / Oli on canvas, 120 x 145 cm, Inv. 150/SG/A
Karya lukisan berjudul “Pertemuan”, 1947 ini isinya dapat ditafsirkan dengan berbagai interprestasi. Hal itu karena secara tekstual objek-objeknya mengandung potensi naratif yang multi interpretatif. Laki-laki dan perempuan duduk di depan ranjang. Laki-lakinya masih berpakaian lengkap dengan jas dan peci, sementara kebaya wanitanya terbuka, sehingga BHnya terlihat. Gestur tubuh kedua orang itu bisa mengisyaratkan komunikasi yang berisi keintiman, bisa juga konflik, sekaligus humor. Setting ini bisa terjadi dalam kehidupan rumah tangga, dalam hubungan percintaan di luar rumah, atau bahkan dari indikator visualnya bisa mengarah potret sebuah bordil di tahun 1940-an. Namun lebih dari itu, lukisan dengan pengolahan figur-figur naïf, warna cerah dan garisnya yang linier ini, dapat memberikan komentar kehidupan yang tajam. Karya-karya Otto Djaja memang bercirikan karakternya yang naïf, selalu dapat menangkap jiwa kehidupan masyarakat, dan dibingkai dalam warna humor yang satiris.
Tema-tema lain yang digarap banyak berisi sindiran tentang kemunafikan lingkungan sosial. Tema-tema demikian bisa dilihat pada karyanya tentang suasana resepsi, suasana pasar kain batik, atau juga pada adegan-adegan praktek perdukunan. Sebagai tekanan untuk menampilkan humor dan satire tersebut, pelukis ini biasanya menggunakan tokoh-tokoh Punokawan dari dunia pewayangan dan legenda-legenda tradisional. Walaupun Otto Djaja mengungkapkan tentang sisi gelap hubungan manusia, namun karena tema itu diolah dengan humor dan warna-warna yang meriah, maka lukisannya selalu menghadirkan suasana yang hangat.
Pertemuan / The Meeting (1947)
Cat plakat di atas kertas / Palcard oil on paper, 88 x 65 cm, Inv. 476/SL/B