Help/Support
Like
Contact
WERKUDARA (BIMA/BRATASENA)

WERKUDARA (BIMA/BRATASENA)



BIMA atau Werkudara dikenal pula dengan nama Balawa, Bratasena, Birawa, DEandunwacana, Nagata, Kusumayuda, Kowara, Kusumadilaga, Pandusiwi, Bayuseta, Sena atau Wijasena. Ia putra kedua dari Prabu Pandu, raja negara Astina dengan Dewi Kunti, putri Prabu Basukunti dengan Dewi Dayita dari negara Mandura. Bima mempunyai 2 orang saudara kandung bernama Puntadewa dan Arjuna, serta 2 orang saudara lain ibu, yaitu Nakula dan Sadewa.
BIMA memiliki sifat dan perwatakan; gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur. Ia memiliki keistimewaan ahli bermain gada dan memiliki berbagai senjata antara lain; Kuku Pancanaka, Gada Rujakpala, Alugara, Bargawa (kapak besar) dan Bargawasta, sedangkan ajian yang dimiliki adalah aji Bandungbandawasa, Aji Ketuklindu dan Aji Blabakpangantol-antol.
BIMA juga mempunyai pakaian yang melambangkan kebesaran yaitu; Gelung Pudaksategal, Pupuk Jarot Asem, Sumping Surengpati, Kelatbahu Candrakirana, ikat pinggangNagabandadan celana Cinde Udaraga. Sedangkan berbagai anugerah Dewata yang diterimanya antara lain: Kampuh/kain Poleng Bintuluaji, Gelang Candrakirana, Kalung Nagasasra, Sumping Surengpati dan pupuk Pudak Jarot Asem.
Bima tinggal di Kadipaten Jodipati, wilayah negara Amarta. Ia mempunyai 3 orang istri dan 3 orang anak yaitu: 1. Dewi Nagagini, berputra Arya Anantareja, 2. Dewi Arimbi, berputra Raden Gatotkaca, dan 3. Dewi Urangayu, berputra Arya Anantasena.
Bima mempunyai akhir riwayat yang diceritakan, mati sempurna (muksa) bersama ke empat saudaranya setelah berakhirnya perang Bharatayuda,
(Artikel dan gambar diambil dari buku Mengenal Tokoh Wayang jilid Tiga karya Drs. H. Solichin dan Ki Waluyo.)
Like
ccc

Add to Cart

ARJUNA

ARJUNA


ARJUNA adalah putra Pandudewanata, raja negara Astinapura dengan Dewi Kunti/Dewi Prita, putri Prabu Basukunti, raja negara Mandura. Ia merupakan anak ketiga dari lima bersaudara satu ayah, yang dikenal dengan nama Pandawa. Dua saudara satu ibu adalah Puntadewa dan Bima/Werkudara. Sedangkan dua saudara lain ibu, putra Pandu dengan Dewi Madrim adalah Nakula dan Sadewa.
ARJUNA adalah seorang satria yang gemar berkelana, bertapa dan berguru menuntut ilmu. Selain menjadi murid Resi Durna di Padepokan Sukolima, ia juga sebagai murid Resi Padmanaba dari Pertapaan Untarayana. Arjuna pernah menjadi Pandita di goa Mintaraga, bergelar Begawan Ciptaning. Ia dijadikan jago kadewatan membinasakan Prabu niwatakawaca, raja raksasa dari negara Manimantaka. Atas jasanya itu, Arjuna dinobatkan sebagai raja di Kayangan Kaindran bergelar Prabu Karitin dan mendapatkan anugerah pusaka-pusaka sakti dari para dewa, antara lain: Gendewa dari Batara Indra, panah Ardadadali dari Batara Kuwera, Panah Cundamanik dari Batara Narada, Panah Pasopati dari Batara Guru.
ARJUNA juga mempunyai pusaka-pusaka sakti lainnya, antara lain: Keris Kyai Kalanadah, Panah Sangkali dari Resi Durna, Panah Candranila, Panah Sirsha, Keris Kyai Sarotama, Keris Kyai Baruna, Keris Pulanggeni diberikan pada Abimanyu, Terompet Dewanata, Cupu berisi minyak Jayengkaton pemberian Bagawan Wilawuk dari pertapaan Pringcendani dan Kuda Ciptawilaha dengan cambuk Kiai Pamuk. Sedangkan ajian yang dimiliki Arjuna antara lain: Panglimunan,Tunggengmaya, Sepiangin, Mayabumi, Pengasih dan Asmaragama.
ARJUNA mempunyai 18 orang istri dan 16 orang anak. Adapun istri dan anak-anaknya adalah:
Dewi Sumbadra, berputra Raden Abimanyu.
Dewi Larasati berputra Bratalaras
Dewi Srikandi
Dewi Ulupi/Palupi, berputra Bambang Irawan.
Dewi Jimambang, berputra Kumaladewa dan Kumalasakti
Dewi Ratri, berputra Bambang Wijanarko.
Dewi Dresanala, berputra Raden Wisanggeni.
Dewi Wilutama, berputra Bambang wilugangga.
Dewi Manuhara, berputra Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati.
Dewi Supraba, berputra Raden Prabakusuma.
Dewi Antakawulan, berputra Bambang Antakadewa.
Dewi Maeswara, berputra Bambang Priambada.
Dewi Retno Kasimpar.
Dewi Juwitaningrat, berputra Bambang Sumbada.
Dewi Dyah Sarimaya.
Dewi Pamegatsih, berputra Bambang Pamagatrisna.
Dewi Gandawati berputra Bambang Gandawardaya.
Dewi Sulastri, berputra Bambang Sumitra.

ARJUNA juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran yaitu: Kampuh atau Kain Limarsawo, Ikat Pinggang Limarkatanggi, Gelung Minangkara, Kalung candrakanta dan Cincin Mustika Ampal (dahulunya milik Prabu Ekalaya, raja negara Paranggelung. Ia juga banyak memiliki nama dan nama julukan, antara lain: Parta (Pahlawan Perang), Janaka (memiliki banyak istri), Permadi (tampan), Dananjaya, Kumbang Ali Ali, Ciptaning Mintaraga (pendeta suci), Pandusiwi, Indratanaya (putra Batara Indra), Jahnawi (gesit trengginas), Palguna, Danaswara (Perayu Ulung) dan Margana (suka menolong).
ARJUNA memilik sifat perwatakan: cerdik, pandai, pendiam, teliti, sopan santun, berani dan suka melindungi yang lemah. Ia memimpin Kadipaten Madukara, dalam wilayah negara Amarta. Setelah perang Bharatayuda, arjuna menjadi raja di negara Banakeling, bekas kerajaan Jayadrata. Akhir riwayat Artjuna di ceritakan, ia muksa (mati sempurna) bersama ke empat saudaranya yang lain.
Like
ccc

Add to Cart

SEMAR: PERAN SUNAN KALIJAGA

SEMAR: PERAN SUNAN KALIJAGA

SEMAR: PERAN SUNAN KALIJAGA

. Masih banyak masyarakat Indonesia yang mengira bahwa Semar adalah ciptaan Sunan Kalijaga. Pendapat tersebut amat keliru karena membaca atau mendengar dari sumber yang salah, atau sengaja memutar balikkan fakta. Tokoh Semar sudah ada pada zaman Pra Islam. Tokoh Semar pertama kali ditemukan dalam karya sastra zaman Kerajaan Majapahit berjudul Sudamala. Selain dalam bentuk kakawin, kisah Sudamala juga dipahat sebagai relief dalam Candi Sukuh yang berangka tahun 1439.



Semar atau lengkapnya Kyai Lurah Semar Badranaya adalah nama tokoh panakawan paling utama dalam pewayangan Jawa dan Sunda. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan kisah kisah Mahabharata dan Ramayana. Tentu saja nama Semar tidak ditemukan dalam naskah asli kedua wiracarita tersebut yang berbahasa Sansekerta, karena tokoh ini merupakan asli ciptaan pujangga Jawa.
.

SEJARAH SEMAR



Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.



Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam berkembang di Pulau Jawa, pewayangan pun dipergunakan sebagai salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang dipentaskan masih seputar Mahabharata yang saat itu sudah melekat kuat dalam memori masyarakat Jawa. Salah satu ulama yang terkenal sebagai ahli budaya, misalnya Sunan Kalijaga. Dalam pementasan wayang, tokoh Semar masih tetap dipertahankan keberadaannya, bahkan peran aktifnya lebih banyak daripada dalam kisah Sudamala.



Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin meningkat lagi. Para pujangga Jawa dalam karya-karya sastra mereka mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat jelata biasa, melaikan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru, raja para dewa.



Terdapat beberapa versi tentang kelahiran atau asal-usul Semar. Namun semuanya menyebut tokoh ini sebagai penjelmaan dewa.



Dalam naskah Serat Kanda dikisahkan, penguasa kahyangan bernama Sanghyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sanghyang Wenang. Karena Sanghyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yeng bernama Batara Guru. Sanghyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama Semar.



Dalam naskah Paramayoga dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin kepiting bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhta kahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya hanya diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun. Jadi menurut versi ini, Semar adalah cucu dari Ismaya.



Dalam naskah Purwakanda dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar bahwa takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.



Dalam naskah Purwacarita dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putra Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit.



Setelah melewati bebarpa hari seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat. Sanghyang Tunggal murka mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.



Wayang Indonesia

sumber : FB Wayang Indonesia

Like
ccc

Add to Cart