Help/Support
Like
Contact
RENUNGAN MALAM KARYA NASHAR

RENUNGAN MALAM KARYA NASHAR



NASHAR (1928 -1994)

Lukisan Nashar yang berjudul “Renungan Malam” ini merupakan ungkapan perasaan pelukisnya pada kemurnian bentuk-bentuk bebas dari representasi alam atau objek-objek apapun. Nashar menghadirkan perasaan murni itu lewat irama garis, bentuk-bentuk, warna ataupun ruang. Dalam lukisannya ini, irama-irama itu memancarkan perasaannya yang mengalir sunyi. Akan tetapi di dalamnya juga ada energi yang berombak, lewat getaran-getaran nuansa tekstur warna cerah yang berfungsi menghadirkan bentuk-bentuk abstrak itu.

Nashar adalah pelukis yang dengan intens melakukan pencarian esensi objek-objek manusia, alam dan lingkungan, tetapi esensinya adalah bagaimana ia mengungkapkan totalitas jati diri. Lewat bentuk-bentuk yang terus disederhanakan sampai menuju abstraksi total, sebenarnya merupakan ekspresi yang mencerminkan efek psikis dari pengalaman kehidupan sehari-hari. Warna-warna yang cemerlang sering tidak mengungkapkan kecerahan, tetapi menceritakan efek dramatis kehidupannya.

Untuk mencapai kedalaman esensi objek-objek dan kemurnian perasaan dalam lukisannya, ia merumuskan perjuangan kreativitas lewat kredo “Tiga Non”. Pertama yaitu non konsep. Maksudnya adalah, ketika mulai melukis ia belum punya gambaran, konsep, bahkan gaya yang akan dipakai. Ia hanya mengandalkan pada keinginan jiwa dan intuisi yang akan mengalir. Kedua, yaitu non objek. Dalam kredo ini ia percaya bahwa suasana intens dalam melukis akan mendorong untuk mendapatkan suatu bentuk atau objek sendiri dalam kanvas. Ketiga, adalah non teknik. Dalam melukis ia selalu tidak berangkat dari pola teknik. Teknik akan menyesuaikan dengan citra dalam berkarya. Dengan kredo tiga non itu diharapkan melukis harus melalui proses perjuangan yang sulit, sehingga situasi jiwa murni selalu terjaga.

Renungan Malam / The Night Meditation (1978)

Cat minyak di atas kanvas / Oil on canvas, 137 x 137 cm, Inv. 464/SL/B

ARTIKEL DAN GAMBAR DIAMBIL DARI www.galeri-nasional.or.id/galeri-nasional/



Like
ccc

Add to Cart

KARTONO YUDHOKUSUMO

KARTONO YUDHOKUSUMO





KARTONO YUDHOKUSUMO (1924 -1957)

Kartono merupakan pelopor untuk genre lukisan dekoratif di Indonesia. Perkembangan itu dimulai dari lukisan-lukisan realismenya yang menggunakan warna-warna bebas. Dalam karya “Melukis di Taman”, 1952 ini, terlihat bagaimana corak dekoratif itu benar-benar menjadi jiwa. Semua objek dalam pemandangan itu digambarkan dengan rincian detail, baik yang ada di depan maupun di latar belakang yang jauh. Berbagai warna cerah pada objek juga lebih mencerminkan intuisi pelukis dari pada kenyataan yang ada di alam. Hal lain sebagai ciri genre lukisan ini adalah penggunaan perspektif udara (aerial perspective) yang memungkinkan cakrawala terlihat ke atas dan bidang gambar menjadi lebih luas, sehingga objek-objek lebih banyak dapat dilukiskan.

Dalam lukisan ini terungkap romantisme pelukis dengan membayangkan dunia utuh dan ideal. Wanita-wanita berkebaya yang bercengkrama dan berkasihan, menjadi bagian penting diantara pohon-pohon dan binatang dalam taman yang penuh warna. Hal menarik lagi yaitu, pada sudut depan terlihat seorang laki-laki melukis model wanita dengan pakaian lebih modern di antara kerumunan wanita lain dalam pakaian kebaya. Selain hal itu menunjukkan setting sosial yang berkaitan dengan gaya hidup, juga bisa menjelaskan romantisisme pada pelukisnya. Dalam bawah sadarnya seorang romantis selalu menghadirkan dunia ideal dari kontradiksi atau berbagai kenyataan yang terpecah-pecah. Besar kemungkinan tokoh sentral dalam karya-karyanya adalah manifestasi dunia ide yang dimunculkan. Namun demikian dalam kebanyakan genre corak dekoratif, ada kesadaran bahwa alam adalah kosmos dan manusia hanya merupakan titik bagian dari padanya. Oleh karena itu, dalam lukisan ini ego sang pelukis yang begitu ideal pun hanya diletakkan dalam bagian kecil, dari sudut lukisan yang sarat dengan objek dan kaya warna

Melukis di Taman / Painting in The Park (1952)

Cat minyak di atas kanvas / Oil on canvas, 90 x 55 cm, Inv. 430/SL/B

(ARTIKEL DAN GAMBAR DIAMBIL DARI www.galeri-nasional.or.id/galeri-nasional/)



Like
ccc

Add to Cart

SEBUAH KARYA DARI HANS HARTUNG

SEBUAH KARYA DARI HANS HARTUNG



HANS HARTUNG (1904 - 1989)

Dalam karya lithografi ini Hartung mengungkapkan perasaan puitisnya lewat guratan-guratan drawing yang hitam pekat dengan tepi-tepi yang lembut dan kabur. Dalam goresan garis-garis vertikal yang berirama itu, justru secara murni dapat dirasakan impulse perasaan lembutnya lewat goresan pensil dan tinta pada kertas. Rekaman jejak yang demikian tentu tidak dapat tampil semurni itu, apabila pelukis memakai medium yang canggih dan kompleks, seperti cat minyak atau sejenisnya. Di samping aspek-aspek teknis yang berdimensi spiritual, tentu ada konsep dibalik karya Hartung, sehingga memperkuat ekspresi keseluruhannya. Setelah meninggalkan ungkapan ekspresionisme, ia kemudian meleburkan diri dalam seni lukis abstrak. Dalam karya-karya terakhir ia tampak memegang spirit ekspresi Perancis yang ketat, namun tetap berkembang dalam nafas sensibilitas puitik seperti karya-karya seniman Jerman.

Seni Hartung merupakan salah satu sisi arus modernisme dalam seni rupa yang memberikan jalan pada pelepasan nilai subjektif. Dalam arus ini, dapat ditandai aliran-aliran besar seperti ekspresionisme dan abstraksionisme yang mempunyai berbagai varian mashab-mashab dan keunikan pelukisnya. Di sisi lain, bahkan abad dua puluh yang juga ditandai dengan munculnya filsafat eksistensialisme, semakin memberi ruang pada kebebasan individu untuk menggali nilai-nilai subjektif dalam karya seni rupa. Dalam kerangka inilah wajar apabila berbagai bentuk naïf dan graffiti yang ekspresif sangat dipercaya sebagai impulse murni dan emosional dalam merekam dunia spiritual manusia. Dalam karya litografi Hartung yang berupa goresan garis-garis vertical yang membentuk ritme puitis ini, juga tengah dihadirkan impulse murni dunia spiritual tersebut.

Tanpa Judul / Untitled

Litografi / Lithography, 55,5 x 76 cm, Inv. 89/SG/C

Posted on 15 Mar 2007 by webmaster

(ARTIKEL DAN GAMBAR DIAMBIL DARI www.galeri-nasional.or.id/galeri-nasional/)





Like
ccc

Add to Cart

KOMPOSISI KARYA HANDRIO

KOMPOSISI KARYA HANDRIO



HANDRIO (Lahir/born 1926)

Dalam lukisan “Komposisi” 1991 ini Handrio menghadirkan bidang, warna dan garis, menjadi konstruksi yang mempunyai kemungkinan tafsir banyak. Komposisi elemen-lemen visual tersebut bisa diapresiasi sebagai suatu ritme yang musikal. Di dalamnya terbangun, bagaimana jalinan garis-garis formal menjadi bidang dengan berbagai bentuk. Bagaimana warna-warna mengungkapkan intensitasnya sehingga menimbulkan dinamika. Ataupun juga, bagaimana garis bidang dan warna itu menjelma menjadi ruang-ruang yang secara ilusif membangun dimensi visual yang kompleks dalam lukisan. Dengan gambaran tektual itu, tafsir berikutnya menghadirkan bagaimana pelukis ini membangun ilusi ruang-ruang kompleks menjadi seperti labirin. Jalinan bidang terang dan gelap membentuk lorong-lorong dan tumpukan bangunan yang kubistis dan rumit. Sampai disini, konstruksi elemen-elemen visual menjadi cermin yang bisa merefleksikan suatu citra daya analisis dan intuisi senimannya yang telah berada dalam alam berfikir modern.

Dalam proses kreatifnya, Handrio mengalami proses yang panjang untuk sampai pada bentuk-bentuk seperti ini. Semenjak tahun 1950-an, ia pelan-pelan mulai meninggalkan gaya realisme dan surealisme untuk menekuni gaya semi abstrak sampai akhirnya menjadi abstrak murni pada tahun 1980-an. Proses pengabstraksi dala kreatifitasnya merupakan kristalisasi berbagai pengalaman dari realitas dunia nyata saat itu yang mulai menghadirkan gejala modernisasi. Sosok realitas yang mengepungnya merupakan perubahan-perubahan sosiokultural dengan percepatan tinggi. Oleh karena itu, pelukis-pelukis ingin merefleksikan pengalaman kulturalnya dengan ringkas dan mencari objek-objek, atau bahkan akhirnya menciptakan bentuk-bentuk baru sama sekali tanpa harus merepresentasikan apapun dari alam. Proses itu diawali Handrio dengan memecah-mecah objek menjadi konstruksi yang geometris. Semakin intens ia menggali dan menganalisis objek-objek itu, semakin nyata bahwa esensinya adalah konstruksi dari elemen-elemen visual. Dengan pencapaian tersebut ia akhirnya sampai pada berbagai komposisi yang menghadirkan citra-citra murni dari berbagai macam karakter visual. Dalam hal inilah Handrio dapat dipandang sebagai agen perubahan ke modernisme dalam seni lukis Indonesia. Akan tetapi uniknya justru dari kubu Yogyakarta yang saat itu dominan dengan paradigma estetik kerakyatan.

Komposisi / The Composition (1991)

Akrilik di atas kanvas / Acrylic on canvas, 77 x 77 cm, Inv. 84/SL/A

Posted on 15 Mar 2007 by webmaster

(Artikel dan gambar diambil dari www.galeri-nasional.or.id/galeri-nasional/)



Like
ccc

Add to Cart

DINAMIKA KERUANGAN KARYA FADJAR SIDIK

DINAMIKA KERUANGAN KARYA FADJAR SIDIK



FADJAR SIDIK (1930 - 2004)

Dalam lukisan “Dinamika Keruangan”, 1969 ini, Fadjar Sidik menampilkan ritme-ritme bentuk dari dua gugusan elemen visual dengan dominan warna hitam dan warna kuning oker. Di sela-sela susunan bentuk terdapat bulatan-bulatan merah yang memberikan aksentuasi seluruh ritme itu, sehingga timbul klimaks yang menetaskan kelegaan. Jika dalam lukisan ini terdapat bentuk bulan dan sabit, hal itu sama sekali bukan representasi religius yang berkaitan dengan nilai simbolik bulan penuh dan bulan sabit. Demikian juga dengan gugusan bentuk-bentuk segi empat dan geliat sulur garis hitam, bukan abstraksi bentuk ular dan sarangnya yang mempunyai nilai magis simbolik. Pelukis ini lebih menekankan bagaimana dalam kanvasnya hadir ekspresi visual yang membuat dinamika, ketegangan, ritme, keseimbangan, atau karakter-karakter lain. Ungkapan dalam lukisan ini merupakan salah satu dari manifestasi pencapaian abstrak murni yang telah melewati proses panjang dalam kreativitasnya.

Pencapaian Fadjar Sidik sampai pada bentuk estetik ini menunjukkan sikapnya sebagai seorang modernis. Hal itu justru dilatabelakangi oleh kekecewaannya sebagai seorang romantis yang kehilangan dunia idealnya, yaitu objek Bali yang telah berubah menjadi artifisial. Sebagai seorang yang mempunyai bahan dasar modernis lewat lingkungan kultural keluarga dan pendidikan, Fadjar tetap lebih dahulu melewati proses mengabstraksi bentuk-bentuk alam yang disukainya. Keputusan utntuk menciptakan bentuk-bentuk sendiri (ia sering menyebutnya sebagai desain ekspresif), tanpa merepresentasikan bentuk-bentuk apapun di alam, merupakan sikap yang purna dari pencarian dan pemberontakan estetiknya. Pemberontakan itu bisa lebih dilihat dengan makna sosial, karena Fadjar pada waktu itu berjuang sebagai seorang modernis dalam lingkungan seni lukis Yogyakarta yang masih kuat mengembangkan paradigma estetik kerakyatan. Sikap sosial yang terkristal dalam konsep estetis itu, menempatkan Fadjar Sidik sebagai agen perubahan dalam seni lukis modern Indonesia.

Dinamika Keruangan / The Space Dynamics (1969)

Cat minyak di atas kanvas / Oil on canvas, 94 x 64 cm, Inv. 383/SL/B

Posted on 15 Mar 2007 by webmaster

(Artikel dan gambar diambil dari www.galeri-nasional.or.id/galeri-nasional/)

Like
ccc

Add to Cart

GUNUNGAN EMAS KARYA ACHMAD SADALI

GUNUNGAN EMAS KARYA ACHMAD SADALI





ACHMAD SADALI (1924 -1987)

Lukisan Achmad Sadali, “Gunungan Emas”, 1980 ini merupakan salah satu ungkapan yang mewakili pencapaian nilai religiusitasnya. Sebagai pelukis abstrak murni Sadali memang telah lepas dari representasi bentuk-bentuk alam. Namun demikian, dalam bahasa visual semua bentuk yang dihadirkan seniman dapat dibaca dengan berbagai tingkatan penafsiran. Dalam usian peradaban yang ada, manusia telah terbangun bawah sadarnya oleh tanda-tanda yang secara universal bisa membangkitkan spirit tertentu. Warna-warna berat, noktah dan lubang, serta guratan-guratan pada bidang bisa mengingatkan pada citra misteri, arhaik, dan kefanaan. Tanda segi tiga, konstruksi piramida memberikan citra tentang religisitas. Lebih jauh lagi lelehan emas dan guratan-guratan kaligrafi Al Qur’an dapat memancarkan spiritualitas islami. Semua tanda-tanda tersebut hadir dalam lukisan-lukisan Sadali, sehingga ekspresi yang muncul adalah kristalisasi perenungan nilai-nilai religius, misteri dan kefanaan.

Pembacaan tekstual ikonografis itu, telah sampai pada interprestasi imaji dan pemaknaan bentuk. Namun demikian karena Sadali selalu menghindar dengan konsep eksplisit dalam mendeskripsikan proses kreatifnya, maka untuk menggali makna simbolis karya-karyanya perlu dirujuk pandangan hidupnya. Sebagai pelukis dengan penghayatan muslim yang kuat, menurut pengakuannya renungan kreatifitas dalam melukis sejalan dengan penghayatannya pada surat Ali Imron, 190 – 191 dalam Al Qur’an. Ia disadarkan bahwa sebenarnya manusia dianugerahi tiga potensi, yaitu kemampuan berzikir, berfikir, dan beriman untuk menuju “manusia ideal dan paripurna” (Ulul-albab). Menurut Sadali daerah seni adalah daerah zikir. Makin canggih kemampuan zikir manusia, makin peka mata batinnya. Dalam lukisan “Gunungan Emas” ini dapat dilihat bagaimana Sadali melakukan zikir, mencurahkan kepekaan mata batinnya dengan elemen-elemen visual.

Gunungan Emas / The Golden Mountain (1980)

Cat minyak, kayu, kanvas / Oil, wood, canvas, 80 x 80 cm, Inv. 176/SL/A

Posted on 15 Mar 2007 by webmaster

(Gambar dan artikel diambil dari www.galeri-nasional.or.id/galeri-nasional/)

Like
ccc

Add to Cart

THE EAGLE KARYA ABAS ALIBASYAH

THE EAGLE KARYA ABAS ALIBASYAH





ABAS ALIBASYAH (Lahir/born 1928)

Abas Alibasyah pada tahun 1960-an termasuk pelukis yang telah melakukan pembaharuan dengan melakukan abstraksi pada lukisannya. Perspektif terhadap objek yang demikian didorong oleh perubahan sosiokultural yang mulai menggejala di Indonesia. Moderinasasi merupakan jiwa zaman yang menjadi mitos baru pada akhir 1960 sampai awal 1970, tak terkecuali dalam habitat seni rupa Yogyakarta yang pada saat itu masih sangat dominan dengan berbagai bentuk paradigma estetik kerakyatan. Respons terhadap modernisasi dalam seni rupa, selain mendorong perubahan bentuk ke arah peringkasan, konseptualisasi, dan abstraksi, juga menunjukkan proses pergulatan mempertahankan nilai-nilai ke Indonesian dari berbagai penetrasi kebudayaan Barat. Abas melakukan kedua hal itu, Abas menyerap spirit modernisasi itu dengan menerapkan pola dasar geometrik dalam mengabstraksi objek-objek. Di samping itu, ia terus berusaha menggali perbendaharaan visual tradisi dalam objek-objek lukisannya.

Dalam lukisan berjudul “Garuda” 1969 ini, penerapan pola dasar geometrik untuk mengabstraksi bentuk burung garuda sangat dominan. Menjadi unik karena deformasi bentuk garuda telah sedemikian jauh, sehingga yang lebih penting adalah ekspresi berbagi unsur visual yang ada. Warna merah dengan gradasi kea rah violet dan oranye memberi kekuatan sebagai latar belakang yang ekspresif. Bentuk burung muncul lewat konstruksi serpihan bidang dengan warna kuning dan hijau, diikat dengan tekstur dan goresan kasar yang mencitrakan nafas primitif. Lukisan ini juga seperti karya-karya Abas dalam periode itu, yang dipengaruhi oleh sumber-sumber visual dari berbagai patung etnis Nusantara. Sikap estetis Abas tersebut, merupakan perwujudan yang kongkrit dalam proses pergulatan mempertahankan nilai-nilai indegeneous dalam terpaan gelombang budaya Barat yang terbungkus dalam euphoria modernisme masa itu.

Garuda / The Eagle (1969)

Cat minyak di atas kanvas / Oil on canvas, 100 x 66 cm, Inv. 12/SL/A

Posted on 15 Mar 2007 by webmaster

(Gambar dan artikel diambil dari www.galeri-nasional.or.id/galeri-nasional/)

Like
ccc

Add to Cart

AD. PIROUS

AD. PIROUS



AD. PIROUS (Lahir/Born 1933)

A.D. Pirous dikenal dengan karya-karyanya yang bernafaskan islami. Pengungkapannya dalam lukisan lewat konstruksi struktur bidang-bidang dengan latar belakang warna yang memancarkan berbagai karakter imajinatif. Dengan prinsip penyusunan itu, pelukis ini sangat kuat sensibilitasnya terhadap komposisi dan pemahaman yang dalam berbagai karakter warna.

(Artikel dan gambar diambil dari www.galeri-nasional.or.id/galeri-nasional/)



Like
ccc

Add to Cart

UNTITLED KARYA WASSILY KANDINSKY

UNTITLED KARYA WASSILY KANDINSKY



WASSILY KANDINSKY (1866 - 1944)

Dalam karya serigrafi ini Kandinsky lebih cenderung mempraktekkan teorinya tentang komposisi, daripada impresi dan improvisasi sebagai sumber penciptaan karyanya. Dalam komposisi ungkapan seniman yang mengalir lewat perasaan terbentuk secara sadar dan bertahap, walaupun proses itu juga bersifat tidak rasional. Akan tetapi dalam karya ini juga bisa dilihat munculnya spontanitas garis-garis yang lahir dari impulse. Dengan demikian, walaupun tidak dominan, dalam karya ini sebenarnya juga mengandung unsur improvisasi. Pengkategorian sumber penciptaan dalam komposisi, improvisasi dan impresi memang tidak bisa secara ketat dipakai untuk mengklasifikasikan suatu karya. Banyak karya yang didalam banyak mengadung berbagai kategori sumber penciptaan seperti yang telah dipilah-pilah Kandinsky tersebut. Walaupun demikian salah satu kategori itu bisa menjadi pola sumber penciptaan yang paling dominan.

Dalam karya ini tersaji suatu komposisi yang terdiri dari bentuk-bentuk formal dan garis-garis yang bersifat spontan. Bentuk-bentuk geometric segi empat dan segitiga menjadi lebur dalam ritme keseluruhan. Leburnya bentuk-bentuk formal ini dikarenakan masuknya elemen-elemen biomorphic di dalamnya dan keseimbangan gerak oleh bentuk bulatan serta garis yang meliuk. Sejak masih bergulat pada kelompok ekspresionis De Blaue Reiter, ia telah menunjukkan gejala kepeloporan dengan penghilangan fungsi objek-objeknya. Pada bagian itu menunjukkan munculnya sifat analitik. Di pihak lain ia dikenal mempunyai intuisi yang meluap pada kesegaran warna, ritme garis dan bentuk. Dalam karya serigrafi ini seluruh elemen garis, bentuk dan warna hadir sebagai ritme musical yang bisa merefleksikan kekuatan intelektual dan ketajaman intuisi Kandinsky.

Tanpa Judul / Untitled

Serigrafi / Seriegraphy, 50 x 65 cm, Inv. 97/SG/C



(Artikel dan gambar diambil dari www.galeri-nasional.or.id/galeri-nasional/)
Like
ccc

Add to Cart

HUTAN KARYA WIDAYAT

HUTAN KARYA WIDAYAT


WIDAYAT (1923 - 2002)
Dalam lukisan berjudul “Hutan” ini, Widayat memperlihatkan kecenderungan pada gaya dekoratif yang telah mencapai personal style-nya dengan kuat. Gaya pribadi Widayat itu mempunyai ciri pada deformasi bentuk-bentuknya yang bersumber dari citra seni primitif. Bentuk-bentuk itu semakin kuat mengungkapkan ekspresi karena didukung oleh karakter unsur-unsur visualnya. Dalam lukisan ini, bentuk-bentuk manusia dan binatang yang dilukiskan dengan deformasi sederhana berada di antara ruang-ruang sempit dan himpitan bentuk-bentuk pohon yang berderet dan berjejalan. Dengan warna dan tekstur yang berat, lukisan “Hutan” ini mengungkapkan citra primitif yang kental.
Diantara tema yang banyak dilukis, kegairahan Widayat pada dunia flora dan fauna mempunyai kekuatan tersendiri. Banyak pengamat menghubungkan imajinasi tema itu dengan kenangan Widayat semasa bekerja sebagai pengukur hutan di Sumatera. Namun lebih dari itu, ia sebenarnya dapat dilihat tengah memberi makna hubungan spiritualnya dengan dunia makrokosmos. Kesadaran ini juga dapat dilihat pada lukisan ”Hutan” tersebut. Dalam lukisan itu, ia menghadirkan hubungan berbagai unsur mikrokosmos, seperti manusia, binatang-binatang, dan lebatnya pohon-pohon yang dalam suasana harmonis, namun penuh menyimpan misteri ini, juga merupakan ciri spiritual ketimuran yang tetap menjadi sumber spirit pelukis-pelukis modern Indonesia.
Minat Widayat pada seni lukis mulai diperlihatkan pada waktu menjadi tentara Divisi Garuda, Seksi Penerangan, di Palembang 1947 -1949. Pada waktu itu ia banyak membuat poster dan dekorasi studio foto. Ketika Widayat harus melukis realisme pada awal studi di ASRI, lukisannya tidak menunjukkan teknik realis yang kuat, tetapi justru menampakkan sifat kegarisan yang datar (dwi matra). Hal itu ternyata merupakan kecenderungan yang akhirnya menjadi gaya personalnya sampai matang.
Dalam proses pembentukannya, Widayat banyak menyerap gaya dekoratif dari Kartono Yudhokusumo dan Jean Dubuffet yang ekspresionis dengan karakter primitif. Ia meleburkan perbendaharaannya itu dalam kreativitas yang melahirkan gaya khas. Widayat sangat dengan berbagai karakter gaya pribadi. Penjelajahannya mulai dari bentuk-bentuk yang agak realistik, penyederhanaan lewat abstraksi dan deformasi, sampai pada abstrak total. Semua itu mengandung unsur yang sifatnya dekoratif. Meskipun demikian, yang paling kuat memberi identitas karakter pribadinya adalah bentuk-bentuk dengan deformasi dan unsur-unsur hias primitif geometrik.
Hutan / The Forest (1973)
Cat minyak di atas kanvas / Oil on canvas, 100 x 70 cm, Inv. 563/SL/B
(Artikel dan gambar diambil dari www.galeri-nasional.or.id/galeri-nasional/)
Like
ccc

Add to Cart

PERAHU KARYA PELUKIS ZAINI

PERAHU KARYA PELUKIS ZAINI





PERAHU KARYA PELUKIS ZAINI (1924 -1977)

Dalam lukisan ini, Zaini melukiskan perahu dengan abstraksi yang menghadirkan suasana puitik. Dengan sapuan-sapuan kuas yang menciptakan nuansa lembut, warna dan garis dalam lukisan Zaini ternyata memunculkan objek-objek dalam kekaburan. Dengan lukisan-lukisan bernuansa lembut itulah Zaini sangat kuat menciptakan bahasa abstraksi liris. Personal style yang menjadi ciri khas Zaini itu merupakan hasil perjuangan panjang sejak tahun 1950-an. Lukisan “Perahu” ini, seperti kekuatan lukisan-lukisannya yang lain yaitu menyampaikan pesan misteri dari kehadiran samar-samar objeknya.

Dengan semangat yang senafas dengan Oesman Effendi, semenjak di sanggar SIM Yogyakarta karya-karya Zaini telah menuju pada penyederhanaan bentuk-bentuk yang naïf. Namun demikian, pada tahun 1949 ia keluar dari SIM karena dalam sanggar semakin kuat pengaruh paradigma estetik “kerakyatan revolusioner” yang berhaluan kiri dan tidak sejalan dengannya. Pada saat itulah ia pindah ke Jakarta dan mulai mengembangkan karya-karyanya dengan media pastel yang menghasilkan garis dan warna lembut.

Dari proses panjang, eksplorasi teknik dengan pencarian bentuk lewat goresan spontan dan lembut menghadirkan objek-objek impresif. Objek-pbjek itu menjadi sosok kabur dengan ekspresi sunyi yang kuat. Mencermati karya-karya Zaini dalam periode selanjutnya, seperti memasuki dunia yang sarat dengan perenungan spiritual. Di dalamnya mengadung berbagai tanggapan personal tentang kerinduan, kesunyian, kehampaan, bahkan kematian. Objek-objek seperti perahu, bunga, burung mati, atau apapun, merupakan esensi yang disajikan dari berbagai fenomena dunia luar untuk memahami perenungan spiritual itu. Dalam risalah Trisno Sumardjo tahun 1957, dikatakan proses dialog spiritual lewat objek-objek sederhana itu menjadi jembatan untuk memahami perenungannya pada dunia kosmosnya yang lebih besar. Puncak pencapaian abstraksi dan spiritualisasi objek-objek itu terjadi pada tahun 1970-an, yaitu ketika ia dengan kuat menghadirkan suasana puitis dalam karya-karyanya. Zaini menjadi penyaring objek-objek yang sangat ekspresif lewat goresan cat minyak dan akrilik, dengan warna lembut seperti kabut.

Perahu / The Boat (1974)

Cat minyak di atas kanvas / Oil on canvas, 65 x 80 cm, Inv. 247/SL/A

Posted on 15 Mar 2007 by webmaster

(ARTIKEL DAN GAMBAR DIAMBIL DARI www.galeri-nasional.or.id)





Like
ccc

Add to Cart