Help/Support
Like
Contact
SENI BATIK TRADISIONAL INDONESIA 4 (PELOPOR BATIK INDONESIA)

SENI BATIK TRADISIONAL INDONESIA 4 (PELOPOR BATIK INDONESIA)

Batik dengan motif burung sawunggaling (ayam jantan, berasal dari mitos Jawa) karya Go Tik Swan, 1964, koleksi Iwan Tirta.



KRT. Hardjonagoro (Pelopor Batik Indonesia)



Batik Go (karya KRT. Hardjonagoro)

PELOPOR BATIK INDONESIA: KRT HARDJONAGORO (GO TIK SWAN)/ 11 MEI 1931-5 NOVEMBER 2008

Go Tik Swan (umumnya dikenal dengan nama KRT Hardjonagoro; lahir pada 11 Mei 1931) adalah seorang budayawan dan sastrawan Indonesia yang menetap di Surakarta. Ia dilahirkan sebagai putra sulung keluarga Tionghoa di kota Solo (Surakarta). Karena kedua orangtuanya sibuk dengan usaha mereka, Tik Swan diasuh oleh kakeknya dari pihak ibu, Tjan Khay Sing, seorang pengusaha batik di Solo. Ia mempunyai empat tempat pembatikan: dua di Kratonan, satu di Ngapenan, dan satu lagi di Kestalan, dengan karyawan sekitar 1.000 orang.



Sejak kecil Tik Swan biasa bermain di antara para tukang cap, dengan anak-anak yang membersihkan malam dari kain, dan mencucinya, mereka yang membubuhkan warna coklat dari kulit pohon soga, dan orang-orang yang menulisi kain dengan canting.

Ia juga senang mendengarkan mereka menembang dan mendongeng tentang Dewi Sri dan berbagai cerita tradisional Jawa. Dari mereka ia belajar mengenal mocopat, pedalangan, gending, Hanacaraka, dan tarian Jawa.

Tik Swan dikirim bersekolah di Neutrale Europesche Lagere School bersama warga kraton, anak-anak ningrat, anak-anak pemuka masyarakat, dan anak-anak pembesar Belanda. Ini disebabkan karena kedua orangtuanya adalah keturunan pemuka masyarakat Tionghoa pada saat itu. Ayahnya adalah cucu dari Lieutenant der Chinezen di Boyolali sedangkan ibunya cucu Lieutenant der Chinezen dari Surakarta.

Tidak jauh dari rumah kakeknya, tinggallah Pangeran Hamidjojo, putra Paku Buwana X, seorang indolog lulusan Universitas Leiden dan juga penari Jawa klasik. Di rumah sang pangeran selalu diadakan latihan tari yang sejak awal sudah mempesona Tik Swan. Sementara itu Pangeran Prabuwinoto membangkitkan minat Go Tik Swan pada karawitan Jawa.

Menarik perhatian Soekarno

Ketika belajar di Jakarta, Tik Swan sering berkunjung ke rumah Prof. Poerbatjaraka dan berlatih menari Jawa di sana. Dalam perayaan Dies Natalis Universitas Indonesia ia bersama rombongannya diundang menari di istana. Tariannya sempat membuat Presiden Soekarno sangat terkesan karena Tik Swan memang menari dengan sangat bagus, sementara boleh dikatakan tidak ada keturunan Tionghoa yang tertarik untuk menari Jawa. Tik Swan pun saat itu sudah menggunakan nama Hardjono.



Pelopor Batik Indonesia

Ketika mengetahui bahwa keluarga Go Tik Swan Hardjono sudah turun-temurun mengusahakan batik, Soekarno menyarankan agar ia menciptakan “Batik Indonesia”. Ia tergugah, lalu pulang ke Solo untuk mendalami segala sesuatu tentang batik, termasuk sejarah dan falsafahnya.

Hubungannya yang akrab dengan keluarga kraton Solo memungkinkan Tik Swan Hardjono belajar langsung dari ibunda Susuhunan Paku Buwana XII yang memiliki pola-pola batik pusaka. Pola-pola batik langka yang tadinya tidak dikenal umum maupun pola-pola tradisional lain digalinya dan dikembangkannya tanpa menghilangkan ciri dan maknanya yang hakiki.

Pola yang sudah dikembangkan itu diberinya warna-warna baru yang cerah, bukan hanya coklat, biru dan putih kekuningan seperti yang lazim dijumpai pada batik Solo-Yogya. Lahirlah yang disebut “Batik Indonesia”.

Saat itu warna-warna cerah cuma dipakai pada batik Pekalongan, namun motif batik Pekalongan kebanyakan buketan (karangan bunga aneka warna) yang berbeda sekali dari motif batik Vorstenlanden (Solo dan Yogya) yang biasanya sarat makna.

Terobosan baru yang dilatar belakangi pemahaman yang mendalam tentang falsafah batik, selera yang baik dalam merancang pola, komposisi dan warna serta kehalusan pengerjaannya, menyebabkan batik Go Tik Swan menjadi rebutan kaum wanita golongan atas. Apalagi pemasarannya dilakukan oleh Ibu Soed, penggubah lagu anak-anak yang dekat dengan Bung Karno dan luas pergaulannya. Ibu Soed juga bisa memberi saran-saran yang berharga karena seleranya baik dalam memadukan warna dsb.

Ibu Soed merupakan salah seorang wanita yang paling dikaguminya, di samping ibunya sendiri dan ibunda Susuhunan Paku Buwana XII.

Go Tik Swan pun mengajari Ibu Soed membuat batik. Nyonya Bintang Soedibjo itu kemudian kita kenal pula sebagai pembuat batik yang handal. Saat ini batik-batik Harjonagoro banyak yang menjadi koleksi museum-museum di Eropa, Amerika, Australia maupun koleksi pribadi orang-orang yang menghargai batik bermutu tinggi. Di masa Ir. Soekarno masih menjadi presiden, kalau ada tamu negara datang, maka Go Tik Swan sebagai anggota Panitia Negara Urusan Penerima Kepala Negara Asing bertanggung-jawab menyelenggarakan pameran batik di Istana Negara.

Dari petani kembali ke petani

Harjonagoro, penghasil batik tulis adiluhung itu tidak anti adanya pabrik-pabrik yang menghasilkan batik secara massal. “Karena pabrik-pabrik itu memberi nafkah kepada banyak orang kecil dan memperkenalkan pola dan motif yang tadinya eksklusif kepada masyarakat banyak. Orang Indonesia maupun asing jadi berkesempatan menghargai tradisi kita,” dalihnya.

Yang disedihkannya ialah kalau pesona magis dan historis dari batik dikalahkan oleh alasan-alasan komersial.

Saat ini, di halaman belakang rumahnya, ada sebuah bangsal yang luas, beratap tinggi dan bersih. Dindingnya dari jalinan gedek yang artistik, rancangan Harjonagoro sendiri. Di dalamnya ada kira-kira sepuluh wanita lanjut usia sedang membatik dengan antengnya. Dari celah-celah gedek angin leluasa masuk, sehingga udara Solo yang panas terasa lebih sejuk di sana.

“Falsafah batik sebenarnya berakar pada petani, yang dibawa masuk ke keraton, lalu diperbaiki dan diperhalus. Baru kemudian timbul falsafah batik yang tidak berpijak pada pertanian.”

“Karena berasal dari petani, mestinya harus mengalir kembali ke asalnya, yaitu masyarakat pertanian. Masyarakat itu, yang kini sudah bergeser menjadi masyarakat industri agraris dan sepanjang masa sengsara, mestinya diberi kesempatan mendapat bagian dari batik.” Begitu keyakinan Harjonagoro yang pernah hidup di antara rakyat jelata (antara lain para pengrajin batik di rumah kakeknya) maupun lingkungan keraton.

Menjadi Empu Keris

Sejak menunjukkan kebolehan dan kepeduliannya pada kebudayaan, ia sering mendapat tugas muhibah dan diundang ke luar negeri untuk memperkenalkan kebudayaan Indonesia. Sementara itu di dalam negeri ia antara lain diangkat menjadi Ketua Pelaksana Art Gallery Suaka Budaya di Karaton Kasunanan Surakarta.

Karena sibuk dengan batik dan kegiatan kebudayaan, akhirnya ia meninggalkan Fakultas Sastra UI setelah menjadi sarjana muda, untuk “mudik” ke Solo.

Hardjono Go Tik Swan bertambah tenggelam dalam kebudayaan Jawa. Ia berusaha keras menyelami dan berhasil menguak tabir pengetahuan tentang keris (ilmu Tosan Aji) yang selama itu sangat dirahasiakan.

Selain melakukan pelbagai penelitian di bidang kebudayaan, berpameran, dan menjadi pembicara tentang batik di mancanegara, ia juga mendirikan tempat pembuatan keris di Yogyakarta dengan bantuan The Ford Foundation dari AS serta membidani kelahiran hampir semua tempat pembuatan keris di Jawa dan Bali.

Yang menjadi kebanggaannya ialah tempat pembuatan keris di Sekolah Tinggi Seni Indonesia di Surakarta di mana ia menjadi anggota Dewan Empu.

Koleksinya disumbangkan ke negara

Selain itu ia juga senang mengumpulkan benda-benda kuno yang tercecer di sana-sini. Ada jembatan batu di selokan kecil yang ketika diperiksa ternyata beraksara Jawa. Ada potongan batu di selokan yang ketika dibalikkan ternyata patung Durga. Ada lagi potongan-potongan batu yang ketika disambung-sambungnya menjadi arca Buddha. Benda-benda itu dibelinya dan dirawatnya baik-baik.

Hasil jerih-payahnya selama berpuluh tahun itu dipajang sebagian di sebuah pendapa di samping rumahnya. Pendapa itu sendiri adalah sebuah bangunan bersejarah, yaitu tempat Paku Buwana I dinobatkan di awal abad XVIII. Bangunan itu dipindahkan dari tempat asalnya dan tampak dalam keadaan terawat sangat baik. Peninggalan sejarah yang berpuluh tahun dikumpulkannya dan dirawatnya dengan kasih sayang itu, pada tahun l985 dihibahkannya ke negara. Ia mengimbau para hartawan untuk menyelamatkan benda-benda bersejarah dengan membelinya lalu dikembalikan ke negara yang sering kekurangan dana.

Ia merasa risau karena banyak orang yang mestinya berwewenang melestarikan peninggalan budaya ternyata kurang peduli, sehingga peninggalan itu terancam punah. Sebaliknya, ia memuji orang-orang seperti Joop Ave (mantan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi) yang katanya paham dan peduli.

Setelah Soekarno meninggal, Go Tik Swan sempat kehilangan gairah merancang batik. Ia bahkan merasa tersisih, tidak dihargai dan jerih payahnya sia-sia.

Kalau pujangga R.Ng.Ranggawarsita menyatakan protesnya terhadap situasi dengan “Serat Kala Tida” dan komponis Gesang dengan lagu Caping Gunung (yang mengingatkan para pejuang bahwa mereka diberi tempat berteduh dan nasi jagung oleh para petani di desa tapi setelah merdeka melupakan desa), maka protes Hardjono Gotikswan berupa batik kembang bangah.

“Kembang bangah adalah bunga yang tumbuh di comberan. Karena mekar di tempat kotor dan berbau busuk, ia dijauhi orang,” cerita Harjonagoro.

Ternyata kreasinya itu mendapat banyak penghargaan sehingga harapannya tumbuh kembali. “Pola kembang bangah ini kebanggaan saya,” katanya.

Namun Susuhunan Paku Buwana XII menganggap Hardjono Gotikswan berjasa besar terhadap kebudayaan Jawa dan Keraton Surakarta. Bukankah ia tekun menggali, melestarikan, berbagi dan peduli pada peninggalan sejarah dan kebudayaan Jawa? Bukankah ia juga Ketua Presidium Museum Radya Pustaka dan menduduki jabatan penting di pengurusan banyak organisasi kebudayaan?

Jadi Sunan menganugerahinya gelar bupati karaton kasunanan dan bahkan Bupati Sepuh, selain bintang jasa Sri Kabadya III. Sejak itu Hardjono Gotikswan yang Jawa lahir batin itu dikenal sebagai Kanjeng Raden Tumenggung Harjonagoro.

Tentang nama Harjonagoro itu ada latar belakangnya. Kakek Buyut Hardjono Go Tik Swan, Tjan Sie Ing, yang Luitenant der Chinezen van Soerakarta itu merupakan orang pertama yang mendapat pacht (hak sewa) atas pasar yang paling besar di Surakarta, yaitu Pasar Harjonagoro.

Nama KRT Harjonagoro bisa dijumpai di banyak sekali buku dan artikel tentang batik, di dalam maupun di luar negeri. Semua itu dikumpulkannya dengan saksama. Namun sayang kali ia belum mengikuti jejak teman sekolahnya, Julius Tahija (mantan Caltex dan mantan pemilik Bank Niaga) yang sudah menuliskan riwayat hidupnya yang menarik. (HI)

Sumber artikel: tionghoa-net

Sumber foto: Wijaya Blog, Batik Central

1968

Penetapan batik sebagai busana nasional

Pada tahun 1968 batik bersama kebaya dicanangkan sebagai pakaian nasional oleh Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu, Ali Sadikin.

(Sumber artikel dari www.desaingrafisindonesia.wordpress.com)

Like
ccc

Add to Cart

SENI BATIK TRADISIONAL INDONESIA 3

SENI BATIK TRADISIONAL INDONESIA 3

Nyi Jogo Pertiwi (96 tahun), sedang mengisi cantingnya dengan bahan malam (wax).



Salah satu karya batik diambil dari www.trulyjogja.com

BATIK PAJIMATAN/IMOGIRI

Kegiatan tradisi membatik sudah ditekuni oleh masyarakat Imogiri, sejak masa Kejayaan Kerajaan Mataram seputar abad 17. Nyi Djogo Pertiwi adalah perempuan yang setia membina perkembangan batik tulis tradisional di Dusun Pajimatan, Desa Girirejo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Yogyakarta khususnya di seputar Makam Raja-Raja Mataram. Kreasi-kreasi kain batik yang telah dikembangkan oleh Nyi Djogo Pertiwi, kini menjadi karya-karya andalan yang diproduksi oleh perajin batik di Imogiri.

Keahlian batik warga sekitar, secara tidak langsung adalah keahlian Nyi Djogo Pertiwi, karena dialah yang menciptakan pola-pola batik dan kemudian menularkan keahliannya ke masyarakat. Membatik memang sejarah hidup Nyi Djogo Pertiwi, karena sejak umur 13 tahun dia sudah bergumul dengan batik. Awalnya dia seringkali melihat-lihat orang membatik di sekitar rumahnya, yang waktu itu memang menjamur. Tetapi pada waktu itu buat seorang Djogo Pertiwi kecil tidak pernah ada yang namanya proses belajar, hanya melihat. Bahkan keterampilan membatik yang dia miliki diperoleh secara supranatural, bukan karena belajar.

“Saya ini sejak kecil suka ikut ayah tirakat ke tempat-tempat ziarah. Dalam perjalanan siang dan malam saya selalu melihat daun-daun, rindang pohon berbagai warna dan macam. Saya suka dengan keindahan daun-daun itu”, kata ibu enam anak dengan nama kecil Salawatun ini. Keindahan alam itu nampaknya merasuk sekali dalam diri Nyi Djogo Pertiwi. Sampai pada suatu hari ketika dia pulang dari mengikuti ziarah ayahnya, tiba-tiba dia mencari bahan-bahan dan alat membatik. Tanpa banyak bicara Nyi Djogo Pertiwi muda waktu itu, langsung menari-menarikan canting, alat paling vital untuk melukis batik (berperan sebagai pena), di atas kain putih yang dibelinya. Gambar yang muncul adalah berbagai rangkaian daun-daunan yang indah. “Ibu saya sempat heran, melihat keajaiban yang saya lakukan”, tegasnya.

Namun untuk memperdalam keahlian yang datang mendadak itu, Nyi Djogo Pertiwi menjadi buruh membatik di Tjokro Soeharto Yogyakarta, yang waktu itu juga dikenal sebagai juragan batik terbesar di Yogyakarta. Di tempat belajar membatik Tjokro Soeharto itu Nyi Djogo Pertiwi makin tertempa pengalaman. Bahkan dia dipercaya untuk membuat kreasi-kreasi baru. “Setelah lama di Tjokro Soeharto, saya membatik sendiri di rumah. Dapat satu saya jual ke pasar. Lalu hasilnya untuk modal membuat dua kain batik. Laku dua bisa jadi empat kain batik, begitu seterusnya. Lama kelamaan saya bisa membawa 10 kain atau lebih saya setorkan ke toko-toko di Yogyakarta. Syukur usaha saya semakin berkembang sampai sekarang”, tegasnya.

Banyak karya batik yang di disain oleh Nyi Djogo Pertiwi. Karya-karya yang terkenal diantaranya adalah apa yang disebut dengan batik adiluhung, segaran, semen garuda, Irian dan masih banyak lagi disain yang ia ciptakan. Peristiwa menarik, ketika dia sedang membatik di depan rumahnya. Tiba-tiba datang beberapa orang warga Belanda yang langsung bertanya, “Kamu sedang membatik apa?” Pertanyaan itu dengan cepat dijawab oleh Nyi Djogo Pertiwi, batik ini namanya Irian. Peristiwa sekitar tahun 60an itu ternyata menjadi sejarah unik bagi kehidupan Nyi Jogo Pertiwi. “Saya tidak tahu kenapa saya menyebut Irian, yang jelas saya takut betul sama Belanda itu. Yang saya heran karya disain saya itu sampai sekarang dikenal dengan nama batik Irian”, katanya, sambil tertawa. Meskipun yang diucapkan oleh Nyi Djogo Pertiwi hanya spontan, tetapi dari karya batiknya itu terlihat adanya gambaran tentang kondisi Irian. Karya batik yang akhirnya menjadi bahan sarung itu, memang bergambar daun-daun lebar, yang menggambarkan kerindangan hutan di Irian Jaya yang konon disebut sebagai Papua itu.

Nama Djogo Pertiwi adalah nama suaminya, pemberian dari Keraton Yogyakarta sekitar tahun 60-70an. Sebelumnya ia dikenal dengan nama paringan dalem Djogo Mustopo. Nama itu diberikan karena sepanjang hidupnya suaminya mengabdikan diri untuk menjadi juru kunci di makam raja-raja tersebut. “Saya menyimpan ribuan kain batik di rumah ini, dan ternyata banyak orang yang datang baik warga asing maupun turis Indonesia”, kata Nyi Djogo Pertiwi yang mendapatkan piala Upakarti dari Presiden tahun 1994, karena usahanya mengembangkan batik tulis di tingkat pedesaan. Sepeninggal Nyi Djogo Pertiwi tahun 2003, kejayaan batik Pajimatan yang telah surut sejak tahun 1980-an, semakin sepi.

Sumber:

Kesetiaan Seorang Pembatik Tradisi

Mengenang Kejayaan Mataram di Pajimatan

Dari www.desaingrafisindonesia.wordpress.com

Like
ccc

Add to Cart

SENI BATIK TRADISIONAL INDONESIA 2

SENI BATIK TRADISIONAL INDONESIA 2





Semua gambar di atas diambil dari www.beringharjo.blogspot.com



BATIK GIRILOYO

Asal-usul Batik Giriloyo



Konon, desa yang sekarang dikenal sebagai Wukirsari adalah gabungan dari desa-desa kecil, yaitu Giriloyo, Pucung, Singosaren dan Kedungbuweng. Penduduknya masing-masing mempunyai aktivitas tersendiri, terutama Giriloyo, Pucung, dan Singosaren, sehingga desa-desa tersebut menjadi terkenal karena keahlian yang dimiliki oleh penduduknya. Dalam hal ini Giriloyo terkenal dengan batiknya, Pucung terkenal dengan kerajinan kulit dan anyaman bambunya, dan Singosaren terkenal dengan gentengnya.

Asal usul batik tulis Giriloyo konon berawal bersamaan dengan berdirinya makam raja-raja di Imogiri yang terletak di bukit Merak pada tahun 1654. Pada waktu itu, ketika Sultan Agung (cucu Panembahan Senopati) berniat membangun makam, beliau menemukan bukit yang tanahnya berbau harum dan dirasa cocok untuk dibuat makam. Namun, ketika pemakaman sedang dibangun, pamannya yang bernama Panembahan Juminah menyatakan keinginannya untuk turut dimakamkan di tempat itu. Ternyata yang meninggal duluan adalah pamannya. Oleh karena itu, yang pertama kali menempati makam tersebut adalah pamannya dan bukan Sultan Agung. Sultan Agung pun kecewa karena sebagai penguasa atau raja seharusnya yang pertama kali dimakamkan di situ adalah dirinya. Untuk menetralisir kekecewaan, Sultan Agung mengalihkan pembangunan calon makam untuk dirinya di bukit lain yang oleh penduduk setempat dinamakan “Bukit Merak” yang berada di Dusun Pajimatan wilayah Girirejo.

Sejalan dengan berdirinya makam raja-raja di Imogiri ini maka perlu tenaga yang bertanggung jawab untuk memelihara dan menjaganya. Untuk itu, keraton menugaskan abdi dalem yang dikepalai oleh seorang yang berpangkat bupati. Oleh karena banyak abdi dalem yang bertugas memeliharanya, sehingga sering berhubungan dengan keraton, maka kepandaian membatik dengan motif batik halus keraton berkembang di wilayah ini. Kemudian, keterampilan membatik itu diwariskan kepada anak atau cucu perempuannya.

Seiring dengan pesanan keraton yang semakin banyak, sementara jumlah perajian batik yang ada di Pajimatan terbatas (tidak memadai), mereka mendatangkan tenaga-tenaga dari Giriloyo. Dan, bagi penduduk Giriloyo itu merupakan suatu keberuntungan karena mereka bisa ngangsu kaweruh tentang batik di Pajimatan sebelum mereka berusaha sendiri. Apalagi, pengerjaannya dilakukan di rumah masing-masing. Artinya, kain yang akan dibatik dibawa pulang ke Giriloyo, kemudian (setelah jadi) disetorkan ke Pajimatan. Inilah yang kemudian membuat nama Giriloyo lebih mencuat ketimbang Pajimatan.

Motif Ragam Hias Batik Tulis Giriloyo



Kekayaan alam Yogyakarta sangat mempengaruhi terciptanya ragam hias dengan pola-pola yang mengagumkan. Sekalipun ragam hiasnya tercipta dari alat yang sederhana dan proses kerja yang terbatas, namun hasilnya merupakan karya seni yang amat tinggi nilainya. Jadi, kain batik-tulis bukanlah hanya sekedar kain, melainkan telah menjadi suatu bentuk seni yang diangkat dari hasil cipta, rasa dan karsa pembuatnya. Motif-motif ragam hias biasanya dipengaruhi dan erat kaitannya dengan faktor-faktor: (1) letak geografis; (2) kepercayaan dan adat istiadat; (3) keadaan alam sekitarnya termasuk flora dan fauna; dan (4) adanya kontak atau hubungan antardaerah penghasil batik; dan (5) sifat dan tata penghidupan daerah yang bersangkutan.

Dalam Katalog Batik Khas Yogyakarta terbitan Proyek Pengembangan Industri Kecil dan Menengah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (1996), menyebutkan bahwa di Daerah Istimewa Yogyakarta paling tidak memiliki lebih dari 400 motif batik, baik motif klasik maupun modern. Beberapa nama ragam hias atau motif batik Yogyakarta antara lain: Parang, Banji, tumbuh-tumbuhan menjalar, tumbuh-tumbuhan air, bunga, satwa, Sido Asih, Keong Renteng, Sido Mukti, Sido Luhur, Semen Mentul, Sapit Urang, Harjuna Manah, Semen Kuncoro, Sekar Asem, Lung Kangkung, Sekar Keben, Sekar Polo, Grageh Waluh, Wahyu Tumurun, Naga Gini, Sekar Manggis, Truntum, Tambal, Grompol, Ratu Ratih, Semen Roma, Mdau Broto, Semen Gedhang, Jalu Mampang dan lain sebagainya.

Masing-masing motif tersebut memiliki nilai filosofis dan makna sendiri. Adapun makna filosofis dari batik-batik yang dibuat di Giriloyo antara lain: (1) Sido Asih mengandung makna si pemakai apabila hidup berumah tangga selalu penuh dengan kasih sayang; (2) Sido Mukti mengandung makna apabila dipakai pengantin, hidupnya akan selalu dalam kecukupan dan kebahagiaan; (3) Sido Mulyo mengandung makna si pemakai hidupnya akan selalu mulia; (4) Sido Luhur mengandung makna si pemakai akan menjadi orang berpangkat yang berbudi pekerti baik dan luhur; (5) Truntum3 mengandung makna cinta yang bersemi; (6) Grompol artinya kumpul atau bersatu, mengandung makna agar segala sesuatu yang baik bisa terkumpul seperti rejeki, kebahagiaan, keturunan, hidup kekeluargaan yang rukun; (7) Tambal mengandung makna menambah segala sesuatu yang kurang. Apabila kain dengan motif tambal ini digunakan untuk menyelimuti orang yang sakit akan sebuh atau sehat kembali sebab menurut anggapan pada orang sakit itu pasti ada sesuatu yang kurang; (8) Ratu Ratih dan Semen Roma melambangkan kesetiaan seorang isteri; (9) Mdau Bronto melambangkan asmara yang manis bagaikan madu; (10) Semen Gendhang mengandung makna harapan agar pengantin yang mengenakan kain tersebut lekas mendapat momongan.

Motif-motif tersebut dari dahulu hingga sekarang diwariskan secara turun-temurun, sehingga polanya tidak berubah, karena cara memola motif itu sendiri hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu, dan tidak setiap pembatik dapat membuat motif sendiri. Orang yang membatik tinggal melaksanakan pola yang telah ditentukan. Jadi, kerajinan batik tulis merupakan suatu pekerjaan yang sifatnya kolektif. Sebagai catatan, para pembatik di Giriloyo khususnya dan Yogyakarta umumnya, seluruhnya dilakukan oleh kaum perempuan baik tua maupun muda. Keahlian membatik tersebut pada umumnya diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi lainnya.

Batik Truntum, motif kupu-kupu

Sumber artikel:

Batik-Tulis Giriloyo (Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta)

(www.desaingrafisindonesia.wordpress.com)



. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Like
ccc

Add to Cart

SENI BATIK TRADISIONAL INDONESIA

SENI BATIK TRADISIONAL INDONESIA



Batik Sarong Tegal





Batik Oey Soe tjoen



Detail dari salah satu karya batik tulis Oey Soe Tjoen





Batik Oey Kok Sing-1934





Batik Ny Tan Sing Ing-1910



Batik Ny Gan Sam Gie



Batik Jawa-Hokokai



Batik Eliza Woman Sarong



Batik Truntum



Desain batik tulis karya Nyi Djogo Pertiwi



Batik Tiga Negeri



Contoh batik Hokokai (berasal dari bahasa Jepang). Motif Hokokai dihasilkan pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia sekitar tahun 1940an. Pada masa kini terdapat beragam motif Hokokai./Java Hokokai is an old batik motif with picture of flowers garden arounded by butterflies. Word of Hokokai was took from japanese word. The Hokokai motif was designed when Japan were colonizing Indonesia on arround 1940. Now, batik Java Hokokai appears with many motifs.

Sumber artikel/Source of article: Indonesian Batik Through the Ages

Sumber foto/Source of image: BatikDesigns.org



Seni Batik Tradisional Indonesia

DEFINISI

Batik (atau kata Batik) berasal dari bahasa Jawa “amba” yang berarti menulis dan “titik”. Kata batik merujuk pada kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan ‘malam’ (wax) yang diaplikasikan ke atas kain, sehingga menahan masuknya bahan pewarna (dye), atau dalam Bahasa Inggrisnya “wax-resist dyeing”.

Batik is a general term that refers to a wax-resist fabric-dyeing technique; tulis is the name of the highest quality freehand batik, whose makers use a hot-wax applicator known as a “canting.” Hand-blocked designs are called cap, and the most common batik fabric is mass-produced.

Sumber:

Sejarah Singkat tentang Batik

Source:

Sarongs-from Gajah Duduk to Oey Soe Tjoen

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

SEJARAH RINGKAS BATIK INDONESIA

Batik secara historis berasal dari zaman nenek moyang yang dikenal sejak abad XVII yang ditulis dan dilukis pada daun lontar. Saat itu motif atau pola batik masih didominasi dengan bentuk binatang dan tanaman. Namun dalam sejarah perkembangannya batik mengalami perkembangan, yaitu dari corak-corak lukisan binatang dan tanaman lambat laun beralih pada motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang beber dan sebagainya. Selanjutnya melalui penggabungan corak lukisan dengan seni dekorasi pakaian, muncul seni batik tulis seperti yang kita kenal sekarang ini.

Jenis dan corak batik tradisional tergolong amat banyak, namun corak dan variasinya sesuai dengan filosofi dan budaya masing-masing daerah yang amat beragam. Khasanah budaya Bangsa Indonesia yang demikian kaya telah mendorong lahirnya berbagai corak dan jenis batik tradisioanal dengan ciri kekhususannya sendiri.

Perkembangan Batik di Indonesia.

Sejarah pembatikan di Indonesia berkaitan dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan kerajaan sesudahnya. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerajaan Solo dan Yogyakarta.

Kesenian batik merupakan kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluarga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.

Dalam perkembangannya lambat laun kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga istana, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria.

Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri. Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai terdiri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari : pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanah lumpur.

Jadi kerajinan batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit dan terus berkembang hingga kerajaan berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah usai perang dunia kesatu atau sekitar tahun 1920. Kini batik sudah menjadi bagian pakaian tradisional Indonesia.

Sumber: Sejarah Batik Indonesia

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Masa Pra-Hindu

Sebelum kebudayaan Jawa -atau dalam arti luas Indonesia- mendapat pengaruh dari India, bangsa Indonesia telah mengenal 10 butir budaya asli atau local culture. Diantara 10 butir itu adalah membatik.

“Berarti yang namanya membatik dari sisi teknologi itu secara hipotetis, telah dimiliki oleh bangsa Indonesia pada masa-masa sebelum pengaruh kebudayaan India datang di Indonesia. Sebelum abad ke 4 atau 5,” kata Timbul* mengacu tulisan Brandes pada tahun 1890-an. Local culture merupakan suatu kebudayaan setempat yang belum dipengaruhi oleh kebudayaan asing. Selain batik, budaya lokal yang masuk dalam 10 local culture masyarakat Jawa -menurut Brandes- adalah wayang, gamelan, tembang, metalurgi, perbintangan, pelayaran, irigasi, birokrasi pemerintahan, dan mata uang.

Datangnya pengaruh kebudayaan India sekitar abad ke-4 atau ke-5 Masehi, membawa dampak pula pada kebudayaan Jawa. Kebudayaan India antara lain memperkaya variasi motif desain ragam hias yang ada, yang dapat dilihat di relief candi-candi. Pengaruh tersebut menyebabkan motif-motif batik juga berkembang. Sebelum masuknya pengaruh India, batik mempunyai tiga macam motif dasar yaitu motif geometrik berupa garis-garis -baik garis lurus, lengkung, maupun pengulangan garis-, motif flora atau tumbuh-tumbuhan, dan motif binatang.

Berkembangnya mitos-mitos dan legenda-legenda yang berasal dari India seperti cerita Ramayana, Mahabarata, dan legenda tentang garuda juga membawa pengaruh pada motif batik.

Sumber: Batik Berkembang Ikuti Masa

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

1942-1945

Masa Pendudukan Jepang/Japanese Occupation in Indonesia

Hermen C Veldhuisen dalam Fabric of Enchantment, Batik from the North Coast of Java, secara singkat menyebut batik Hokokai dibuat di bengkel-bengkel milik orang Indo-Eropa, Indo-Arab, dan Peranakan, yang diharuskan bekerja untuk orang-orang Jepang karena kualitas pekerjaan bengkel mereka yang sangat halus. Sedangkan kain katunnya dipasok oleh orang-orang yang ditunjuk oleh tentara pendudukan Jepang.

Ciri-ciri kain panjang pada masa ini menurut Veldhuisen adalah penuhnya motif bunga pada kain tersebut. Meskipun gaya batik ini disebut sebagai diperkenalkan oleh dan untuk Jepang, tetapi sebetulnya gaya ini sudah muncul beberapa tahun sebelumnya. Bengkel kerja milik orang Peranakan di Kudus dan Solo pada tahun 1940 sudah menggunakan motif buketan yang berulang, dengan latar belakang yang sangat padat dan disebut sebagai buketan Semarangan. Kain-kain ini dibuat untuk Peranakan kaya di Semarang.

Kain batik pagi-sore, yaitu kain batik yang terbagi dua oleh dua motif yang bertemu di bagian tengah kain secara diagonal, juga bukan merupakan ciri khas batik Hokokai, karena kain pagi-sore ada kain pagi-sore yang dibuat pada tahun 1930 di Pekalongan. Dengan kain pagi-sore, efisiensi pemakaian menjadi salah satu tujuan karena selembar kain bisa dipakai untuk dua kesempatan dengan motif berbeda. Warna yang lebih gelap biasanya dipakai di bagian luar untuk pagi dan siang hari, sementara bagian yang berwarna pastel dipakai pada acara malam hari.

Meskipun begitu, Veldhuisen menyebutkan batik Hokokai adalah salah satu contoh gaya batik yang paling banyak berisi detail, menggabungkan ciri pagi-sore, motif terang bulan, dan tanahan Semarangan. Batik Hokokai menggunakan latar belakang yang penuh dan detail yang digabungkan dengan bunga-bungaan dalam warna-warni yang cerah. Motif terang-bulan awalnya adalah desain batik dengan motif segi tiga besar menaik secara vertikal di atas latar belakang yang sederhana.

Motif dominan lainnya adalah bunga. Yang paling sering muncul adalah bunga sakura (cherry) dan krisan, meskipun juga ada motif bunga mawar, lili, atau yang sesekali muncul yaitu anggrek dan teratai.

Motif hias yang sesekali muncul adalah burung, dan selalu burung merak yang merupakan lambang keindahan dan keanggunan. Motif ini dianggap berasal dari Cina dan kemudian masuk ke Jepang.

Hampir semua batik Jawa Hokokai memakai latar belakang (isen-isen) yang sangat detail seperti motif parang dan kawung di bagian tengah dan tepiannya masih diisi lagi dengan misalnya motif bunga padi.

Sumber: Batik Jawa Hokokai, Cerita Singkat Penjajahan Jepang di Indonesia

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

1945 dan Seterusnya

Jawa baru

Setelah Perang Dunia II usai, Jepang takluk dan angkat kaki dari Indonesia, batik sebagai industri mengalami masa surut. Namun, motif-motif batik terus berkembang, mengikuti suasana. Ketika itu juga muncul istilah seperti batik nasional dan batik Jawa baru. Batik Jawa baru bisa disebut sebagai evolusi dari batik Hokokai. Pada tahun 1950-an batik yang dihasilkan masih menunjukkan pengaruh batik Hokokai yaitu dalam pemilihan motif, tetapi isen-isen-nya tidak serapat batik Hokokai.

Sumber: Batik Jawa Hokokai, Cerita Singkat Penjajahan Jepang di Indonesia

BATIK PERANAKAN

Batik peranakan adalah sub genre batik pesisir. Batik peranakan banyak dihasilkan oleh kaum peranakan baik yang berasal dari keturunan Cina maupun Belanda yang bermukim di sepanjang pesisir pantai utara (pantura) Jawa.

Setelah Indonesia merdeka, batik peranakan hanya dihasilkan oleh keturunan Cina. Daerah penghasil batik peranakan antara lain Jakarta (sebelum direlokasi berada di sekitar Karet dan Palmerah), Cirebon, Indramayu, Pekalongan, Demak, Lasem, Tuban dan Gresik. Batik peranakan diperkirakan mulai tumbuh setelah perang Jawa usai (sekitar 1830an) dan mengalami perkembangan pesat pada awal abad 20.

Beberapa maestro batik Indo Belanda yang terkenal antara lain: Lien Metzelaar, Caroline Josephine von Franquemont serta van Zuylen bersaudara (Eliza dan Carolina). Maestro batik Cina Peranakan yang menonjol antara lain: The Tie Siet, Oey Soen King, Liem Hok Sien, Liem Boen Tjoe, Liem Boen Gan, dan Oey Soe Tjoen.

Ciri khas batik peranakan adalah penggunaan motif mitologi CIna seperti kilin, naga, burung phoenix (hong), dewa-dewa, api, mega, bunga dan sulur2an dengan stilisasi yang khas. Motif khas batik peranakan antara lain, buketan, jlamprang, dan lokcan. Interaksi kaum Cina peranakan dengan batik tradisional melahirkan batik tiga negeri, dua negeri dan sebagainya. Pada masa pendudukan Jepang juga lahir motif Jawa Hokokai.

Berbeda dengan batik Jawa yang banyak memakai warna berat karena pemakaian pewarna alami (soga, genes, kayu tiger, kayu tingi, akar pace dan sebagainya), batik peranakan banyak menggunakan warna primer (merah, biru, hijau dan sebagainya) dari pewarna kimia buatan. Batik peranakan juga memelopori pewarnaan primer dengan gradasi. Teknik penggunaan warna gradasi dipelopori oleh Oey Soe Tjoen.

BATIK OEY SOE TJOEN (1925)

Sejarah Oey Soe Tjoen (1901-1975) berawal di Pekalongan pada 1925. Oey muda memutuskan keluar dari garis usaha keluarga yang memproduksi batik cetak. Bersama Kwee Tjoen Giok Nio, istrinya, ia merintis batik tulis. Rumahnya di Jalan Raya Kedungwuni, Pekalongan, dijadikan tempat usaha.

Oey menggarap motif tradisional khas pantai utara seperti motif pagi sore, merak, pringgodani, dan bunga bungaan—mawar, seruni, tulip, dan anggrek. Motif tersebut dibuat sesempurna mungkin dengan melibatkan pembatik profesional. Dari dulu batik Oey dikerjakan dengan proses berjenjang. Seorang pekerja khusus menggarap motif daun. Motif tambahannya dilakukan pekerja lain.

Oey tak sembarangan memasarkan karyanya ke pasar tradisional. Ia mengajari anak buahnya mendekati orang orang kaya. Melalui strategi ini batik Oey dikenal kalangan papan atas. Tak sedikit saudagar kaya di pantai utara terpincut dan membelinya. Usaha Oey makin terang ketika karyanya juga digemari saudagar Kudus, Magelang, dan beberapa daerah lain. Sebagian adalah pengusaha rokok dan tembakau. Saking tenarnya, kain batik Oey sempat menjadi mas kawin wajib sejumlah pengusaha Cina.

Produksi batik Oey makin meningkat. Puncaknya, mereka memiliki pekerja hingga 150 orang. Mereka dilatih cara membatik yang baik. Oey menekankan, proses produksi mesti dilakukan secara tradisional guna mempertahankan kualitas. Menurut Widianti, pencinta batik lokal berdarah Indonesia-Eropa, Van Zuylen bersama istrinya, Eliza van Zuylen, mempunyai andil membesarkan batik Oey. Pegawai Belanda di Pekalongan itu memperkenalkan warna baru selain merah dan biru, yakni warna klasik yang menjadi identitas batik tradisional Pekalongan.

Berkat jasa Zuylen pula, batik Oey akhirnya dikenal pengusaha mancanegara. Setiap bulan ada saja pemesan dari Eropa, Amerika, atau Jepang. Batik Oey juga masuk katalog karya seni yang patut dimiliki di Belanda. Selain merespons selera Barat, Oey mampu memenuhi hasrat orang Jepang. Ia membuat batik Hokokai khas Negeri Matahari Terbit itu dengan motif merak, bunga, dan kuku dengan memasukkan semua warna. Pada masa jayanya, sekitar dua puluh tahun lalu, rumah toko bercat kuning di Jalan Raya Kedungwuni, Pekalongan, itu selalu ramai pekerja.

Para pembatik menggunakan ruang bagian belakang. Di antara pembatik itu ada Ipah, ibu Muayah. Adapun rumah bagian depan, seluas setengah lapangan badminton, dijadikan ruang pajang batik. Produksi batik Oey mulai menurun pada 1980, setelah usaha beralih ke generasi kedua, Koey Kam Long, empat tahun sebelumnya. Menurut Widianti, gempuran produk tiruan membunuh usaha keluarganya.

”Batik tiruan dikerjakan dengan sablon atau printing,” ujar pemilik nama lain Oey Kiem Lian itu. Kegetiran generasi Oey Soe Tjoen ini kian parah tatkala bom mengguncang Bali pada 2002. Saat itu sejumlah turis asing membatalkan pesanan. Apalagi, menurut dia, ada juga rumor bahwa Oey berhenti berproduksi. Kini batik Oey sangat terbatas.

(Bersambung ArtikelBerikutnya)

Sumber:

Batik Oey Soe Tjoen, Orang yang Bekerja dengan Ingatan Kuat

Batik Oey Soe Tjoen [1925]

Sumber foto:

Classical Javanese Batik

(Artikel dan gambar diambil dari www.desaingrafisindonesia.wordpress.com)

Like
ccc

Add to Cart