Help/Support
Like
Contact
PENDIDIKAN KARAKTER : SATU TELADAN LEBIH UTAMA DARI SERIBU NASEHAT

PENDIDIKAN KARAKTER : SATU TELADAN LEBIH UTAMA DARI SERIBU NASEHAT

PENDIDIKAN KARAKTER : SATU TELADAN LEBIH UTAMA DARI SERIBU NASEHAT
         Pendidikan karakter terasa amat penting untuk saat ini. Disaat anak-anak bangsa ini mulai menjauh dari nilai-nilai moral dan religi. Seakan mereka telah lepas kendali dan semakin menjauh dari nilai-nilai luhur agama, budaya dan tata sosial yang dipegang teguh oleh bangsa ini. Mereka seakan sudah tak kenal lagi apa artinya sopan santun, adab pergaulan dan prinsip-prinsip pergaulan yang telah mendarah daging selama berabad-abad lamanya dalam diri bangsa Indonesia ini.
         Kekhawatiran akan semakin menjauhnya para tunas bangsa dari penanaman luhur norma budaya bangsa ini, perlu adanya solusi terbaik untuk lepas dari permasalahan ini. Di butuhkan adanya jalan keluar sehingga para pemuda mulai mencintai dan kembali pada jalan yang lebih mulia yaitu menerapkan kembali nilai moral agama dan budaya dalam kehidupan kesehariannya. Hal ini dibutuhkan pendidikan karakter yang lebih mengena pada sasarannya.
         Pendidikan karakter kiranya yang lebih tepat untuk diberikan pada anak-anak muda yang berkaitan dengan permasalahan moral tersebut.. Anak-anak muda ini tidak lain adalah anak-anak usia sekolah yang sedang menempuh pendidikannya di lembaga pendidikan formal maupun non formal. Baik yang berada dalam lingkup pendidikan yang berbasis agama maupun pendidikan yang bersifat umum. Penanaman pendidikan karakter terasa teramat penting dan mendesak untuk diberikan kepada mereka. Terlihat urgen dengan keadaan saat ini yang semakin menjauh dari nilai-nilai luhur budaya dan sosial.
         Pendidikan Karakter merupakan bentuk kegiatan manusia yang di dalamnya terdapat suatu tindakan yang mendidik diperuntukkan bagi generasi selanjutnya. Tujuan pendidikan karakter adalah untuk membentuk penyempurnaan diri individu secara terus-menerus dan melatih kemampuan diri demi menuju kearah hidup yang lebih baik. Aktivitas pendidikansejak awal telah dijadikan sebagai cara bertindak dari masyarakat. Manusiamewariskan nilai moral yang menjadi bagian penting dari budayamasyarakatdimana tempat mereka hidup dan mewariskan nilai moral tersebut kepada generasi selanjutnya. Pendidikan memiliki peran penting karena pendidikantidak hanya menentukan keberlangsungan masyarakatnamun juga menguatkan identitas individu dalam sosial masyarakatyang berbudaya.
        Pendidikan karakter bukan hal baru dalam tradisi pendidikan di Indonesia. Beberapa tokoh pendidik Indonesiamodern yang kita kenal seperti Ir.Soekarnotelah mencoba menerapkan semangat pendidikan karakter sebagai pembentuk moral kepribadian dan identitas bangsa yang bertujuan menjadikan bangsaIndonesiamenjadi bangsayang berkarakter.
         Permasalahan pendidikan karakter di Indonesia sejauh ini menyangkut pendidikanmoraldan dalam aplikasinya terlalu membentuk satu arah pembelajaran khusus sehingga melupakan mata pelajaran lainnya, dalam pembelajaran terlalu membentuk satu sudut kurikulumyang diringkas kedalam formula menu siap saji tanpa melihat hasil dari proses yang dijalani. Pendidik pun cenderung mengarahkan prinsip moral umum secara satu arah, tanpa melibatkan partisipasi siswa untuk bertanya dan mengajukan pengalaman empiriknya. Sejauh ini dalam proses pendidikandi Indonesiayang berorientasi pada pembentukan karakterindividu belum dapat dikatakan tercapai karena dalam prosesnya pendidikandi Indonesiaterlalu mengedepankan penilian pencapaian individu dengan tolak ukur tertentu terutama logik-matematik sebagai ukuran utama yang menempatkan seseorang menjadi yang terbaik. Dalam prosesnya pendidikan karakter yang berorientasi pada moral dikesampingkan dan akibatnya banyak kegagalan nyata pada dimensi pembentukan karakterindividu.
        Pendidikan karakter merupakan aspek yang penting bagi generasi penerus. Seorang individu tidak cukup hanya diberi bekal pembelajaran dalam hal intelektual belaka tetapi juga harus diberi hal dalam segi moraldan spiritualnya, seharusnya pendidikan karakter harus diberi seiring dengan perkembangan intelektualnya yang dalam hal ini harus dimulai sejak dini khususnya di lembaga pendidikan. Pendidikan karakter di sekolahdapat dimulai dengan memberikan contoh yang dapat dijadikan teladan bagi murid dengan diiringi pemberian pembelajaran seperti keagamaan dan kewarganegaraan sehingga dapat membentuk individu yang berjiwa sosial, berpikir kritis, memiliki dan mengembangkan cita-cita luhur, mencintai dan menghormati orang lain, serta adil dalam segala hal.
         Lahirnya pendidikan karakter bisa dikatakan sebagai sebuah usaha untuk menghidupkan spiritualreligius yang ideal. Foerster seorang ilmuan pernah mengatakan bahwa tujuan utama dari pendidikanadalah untuk membentuk karakter karena karaktermerupakan suatu evaluasi seorang pribadi atau individu. Karakter individupun dapat memberi kesatuan atas kekuatan dalam mengambil sikap di setiap situasi.
         Pendidikan karakter pun dapat dijadikan sebagai strategi untuk mengatasi pengalaman yang selalu berubah sehingga mampu membentuk identitas yang kokoh dari setiap individu dalam hal ini dapat dilihat bahwa tujuan pendidikan karakter ialah untuk membentuk sikap yang dapat membawa kita kearah kemajuan tanpa harus bertentangan dengan norma yang berlaku.
         Pendidikan karakter pun dijadikan sebagai wahana sosialisasi budaya dan norma yang patut dimiliki setiap individu agar menjadikan mereka sebagai individu yang bermanfaat seluas-luasnya bagi lingkungansekitar. Pendidikan karakter bagi individu bertujuan agar me]ngetahui berbagai karakteryang baik dari manusia, dapat mengartikan dan menunjukkan contoh prilaku berkarakter dalam kehidupan sehari-hari serta memahami sisi baik menjalankan prilaku berkarakter.
          Pendidikan karakter di sekolah harus lebih mengedepankan pada contoh.  Contoh yang dimaksud adalah adanya sesuatu yang dapat ditiru dalam penerapannya pada kehidupan sehari-hari secara nyata. Pendidikan karakter harus dimulai dengan adanya sosok yang dijadikan teladan nyata, bukan sekedar teoritis maupun ilustrasi belaka.
         Pendidikan berkarakter harus lebih mengutamakan pada penekanan kata bijak “SATU TELADAN LEBIH UTAMA DARIPADA SERIBU NASEHAT”. Memang terasa klise, tetapi makna yang terkandung sangat dalam sekali. Hal tersebut terutama ditujukan kepada pendidik dan pengambil kebijakan di dalam lingkungan proses pembelajaran tersebut. Mendidik memang tidak sekedar memberikan materi pelajaran. Mendidik bukan hanya mentransfer seperangkat ilmu. Tetapi lebih luas lagi yaitu memberikan wawasan yang lebih bermanfaat, memberikan bekal hidup berupa moral yang bermartabat disertai penguasaan ilmu yang lebih tinggi sejalan dengan perkembangan zaman.
          Satu teladan lebih baik daripada seribu nasihat, seperti itulah dalam memberikan suatu pendidikan. Kadang pendidik hanya sekedar memberikan nasihat saja, sementara perilaku yang baik sebagai cerminan dari seorang pendidik terkadang tidak diperlihatkan. Hal tersebut yang sangat disayangkan. Padahal anak didik sangat membutuhkan teladan dalam proses pendidikan yang sedang diikutinya.
            Dunia pendidikan memang tidak ada habisnya untuk dibahas. Selalu ada saja kisah unik dan menarik untuk dikupas secara ilmiah maupun hanya sekedar pembicaraan ringan saja. Banyak diantara para pendidik yang menuntut peserta didik agar nurut dan selayaknya “orang dewasa” yang tahu dan paham betul mana yang baik dan buruk. Pendidik melupakan bahwa apa yang di lihat oleh peserta didik didepan kelas merupakan figur yang layak di teladani, maka dari itu, mereka akan menirunya, bukan meniru apa yang telah dia ucapkan. Atau singkat kata dan dengan kalimat tegas bahwa perilaku anak didik adalah cerminan dari perilaku para pendidik saat berperilaku di depan kelas atau saat berada di lingkungan sekolah sebagai sarana proses pembelajaran mereka.
            Benar kata pepatah, 1 teladan lebih utama dari 1000 nasihat. Pendidik yang hanya banyak “suaranya” berharap si siswa takut dan respect, justru akan berbanding terbalik karna siswa tersebut akan semakin bandel dan kebal dengan suara nada-nada tinggi dan menjadikan siswa susah untuk dinasihati. Pendidik yang baik adalah seseorang yang dapat dicontoh dan dengan sadar memberikan teladan kebaikan yang ada pada dirinya. Kebaikan yang tercermin pada tingkah laku dan segala tindak tanduk dalam kehidupan kesehariannya. Apa yang dinasehatkan sesuai dengan apa yang dilakukan dalam kehidupan nyata, terutama yang dapat terlihat langsung oleh peserta didik dalam menyampaikan, menjalankan dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari dirinya.
          Memang setiap pendidik akan senang jika sesuatu yang ada disekitar dirinya terjadi sesuai keinginannya. Mereka menginginkan suatu perubahan pada sistem disekitarnya agar sesuai dengan keinginannya. Tapi sedikit sekali yang sadar bahwa perubahan suatu sistem itu harus dimulai dari diri kita  sendiri. Menginginkan sesuatu yang besar harus diawali dengan sesuatu yang kecil melalui sebuah proses. Orang bijak berkata bahwa "mengoreksi orang lain itu tidak istimewa, namun jika ada orang yang berani melihat kekurangan dirinya, bertanya tentang kekurangan itu secara sistematis, lalu membuat sistem untuk mengetahui kekurangan dirinya, ini baru orang yang istimewa". 
          Penekanan pendidikan berkarakter adalah pemberian figur yang dapat diandalkan sebagai teladan yang dapat dijadikan contoh dalam kehidupan keseharian para peserta didik. Teladan tersebut dapat diikuti atau ditiru dalam berbagai segi kehidupan, baik dibidang keilmuan maupun dibidang moral berupa norma agama, norma sosial maupun norma budaya yang ada dilingkungannya. Sehingga sesuailah jika pendidikan berkarakter adalah wujud nyata penerapan secara riil dari ungkapan “Satu Teladan Lebih Utama Daripada Seribu Nasehat”.

Penulis : Eko Kimianto, S.Pd
Alumnus Pendidikan Seni Rupa UNNES/IKIP Semarang
Pendidik di SMP Negeri 2 Gemuh, bidang studi Seni Budaya.
Like
ccc

Add to Cart

POTRET KEHIDUPAN MANUSIA DALAM SIMBOL BUDAYA WAYANG

POTRET KEHIDUPAN MANUSIA DALAM SIMBOL BUDAYA WAYANG

POTRET KEHIDUPAN MANUSIA DALAM SIMBOL BUDAYA WAYANG
          Kehidupan manusia merupakan cerminan beraneka ragam liku-liku dan suka duka yang ada dalam segala watak dan karakter yang dimiliki individu. Permasalahan yang ada disikapi dengan temperamen spesifik yang tidak sama antara individu satu dengan yang lainnya. Mereka menghadapi dan mengalami kehidupannya dengan kemampuan dan sikap yang berbeda pula. Tergantung dari kekuatan fisik, kemampuan dan tingkat intelegensi yang dimiliki oleh masing-masing individu. Termasuk juga dalam segi emosional yang sedang dialami individu pada saat menghadapi permasalahan dan tantangan kehidupan yang ada. Kondisi tersebut sangat berpengaruh dan mewarnai dengan beraneka cara dan sikap yang melekat pada tiap insan, sehingga hasilnya bisa diraih sesuai dengan kondisi emosional yang ada pada saat itu.
         Begitulah potret kehidupan manusia dari suatu masa ke masa berikutnya. Potret kehidupan manusia dengan berbagai karakter dan watak yang dimiliki setiap individu merupakan cerminan keseluruhan kehidupan secara umum dari satu zaman ke zaman lainnya. Oleh karena itu simbol-simbol kehidupan manusia dapat dipetik dari kurun waktu kehidupan yang sangat lama dari satu generasi ke generasi berikutnya yang berlangsung secara terus menerus. Sehingga dapat diambil satu garis lurus untuk menggambarkan ciri-ciri seseorang dengan watak dan sikap yang dimiliki oleh manusia yang dipadukan dengan ciri-ciri fisik yang melekat pada dirinya.
         Sejarah budaya Nusantara telah membuktikan adanya pengambilan potret kehidupan manusia dalam bentuk-bentuk simbol sebagai cerminan karakter dan sifat manusia. Karakter tersebut dapat dikaitkan dengan kondisi fisik orangnya atau kondisi kehidupan lingkungan sebagai tempat mengarungi kehidupannya. Karakter yang menonjol dalam budaya Nusantara adalah tradisi yang penuh dengan simbol-simbol atau lambang sebagai bentuk ungkapan dari ide yang abstrak sehingga menjadi bentuk yang kongkrit.
        Ide abstrak melalui simbol-simbol bentuk ungkapan menjadi bentuk yang kongkrit dapat dilihat pada hasil budaya para leluhur yang berupa wayang. Wayang merupakan bentuk seni budaya yang menyatukan masyarakat secara menyeluruh, baik secara horisontal maupun vertikal. Wayang merupakan simbol klasik kehidupan masyarakat yang kurang begitu ditangkap oleh generasi bangsa saat ini. Wayang adalah bentuk konsepsi diri manusia Indonesia dengan berbagai aspek yang merefleksikan diri kedalam kehidupan dan kedudukan relatif sosial dalam hubungan kehidupan secara horisontal dan vertikal. Hubungan kehidupan horisontal adalah hubungan kehidupan antar manusia, lingkungan dan mahkluk hidup yang ada di sekelilingnya. Sedangkan hubungan kehidupan vertikal adalah hubungan kehidupan manusia dengan penciptanya, hubungan kehidupan dengan Tuhannya.
 Pagelaran Wayang Purwa

         Wayang dalam konteks kehidupan horisontal menyiratkan tata nilai yang menunjukkan upaya-upaya untuk mencapai keserasian hidup. Keadaan ideal yang wajib dipertahankan itu berupa keseimbangan tata tertib sosial yang digambarkan sebagai masyarakat yang tentram, makmur, aman dan adil. Walaupun demikian dalam cerita pewayangan yang menghadirkan Mahabharata terdapat karakterisasi dan simbolisasi yang saling berlawanan, yaitu Pandawa sebagai simbol protagonis atau kebaikan, dan Kurawa sebagai simbol antagonis atau kejahatan. Ditampilkannya epos utama ini menunjukan keadaan kehidupan manusia yang sebenarnya yang selalu diwarnai oleh kebaikan dan kejahatan.
         Sejarah telah memposisikan wayang sebagai bentuk karya seni budaya yang selain berfungsi sebagai sarana hiburan juga berfungsi sebagai sarana untuk mengenal Tuhan. Seluruh komponen yang terdapat pada karya seni budaya wayang pernah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi berlangsungnya suatu proses keberagaman pada masyarakat yang telah lampau. Ajaran tentang kebaikan dan kejahatan ini yang kemudian mempengaruhi pola pikir dan tindakan keberagaman dalam masyarakat Nusantara.
          Kebaikan bisa di wujudkan dalam bentuk ksatria pilih tanding dengan segala keutamaan sifat-sifat yang di visualkan dalam simbol bentuk fisik, penampilan dalam busana, cara bicara dan gerakan wayang yang dilakonkan oleh dalangnya. Kejahatan juga bisa dilambangkan dengan bentuk fisik seperti raksasa atau buto, atau mungkin juga dengan pewarnaan wajah dan penampilan busana tokoh-tokoh durjana tersebut yang perbedaannya sangat kontras berbeda dengan tokoh wayang yang dianggap baik atau berlaku utama.
          Strata kehidupanpun juga digambarkan secara mendetail, dari tingkatan kehidupan terendah hingga tingkat kehidupan yang paling tinggi. Pembagian tingkat kehidupan ini merupakan contoh nyata dalam kehidupan sesungguhnya. Kehidupan nyata memperlihatkan adanya tingkat kehidupan masyarakat bawah, sebagai masyarakat jelata ataupun masyarakat pinggiran yang dalam dunia pewayangan bisa digambarkan sebagai abdi, pembantu ataupun tokoh-tokoh liar yang kehidupannya dihutan sebagai pengganggu para ksatria maupun begawan yang sedang melakukan tapabrata. Penggambaran masyarakat kelas menengah bisa dilihat para tokoh ksatria yg bukan raja atau mungkin para prajurit yang membela para rajanya. Masyarakat strata tertinggi digambarkan dalam bentuk Raja atau Begawan yang mempunyai kelebihan dibidang tata negara, politik maupun agama.
            Wayang memang diciptakan untuk membeberkan makna kehidupan yang berisi tentang bermacam-macam tujuan, hendaknya kitapun bisa melihat dari bermacam-macam segi dan sudut pandang. Segi yang bersifat “kelahiran” dapat segera di tangkap arti dan maksudnya. Sebaliknya, sudut pandang yang bersifat rohani tidaklah segera dapat kita mengerti. Maksud yang bersifat rohani ini terbungkus rapi, di dalam jalinan seni yang amat tinggi nilanya. Nilai yang tersembunyi yang harus dicari dengan mengupas kulit yang menjadi kelopak pembungkusnya. Bahkan di dalam pertunjukan pagelaran wayang purwa kita telah diajak menuju kesana sekalipun secara sinandi (rahasia).
            Akhir suatu pertunjukkan wayang purwa, pada pagelaran yang mengikuti tata-cara dan aturan asli selalu di susul dengan keluarnya “Golek”. Ki Dhalang melakonkan cerita wayang beberapa lamanya, barulah pertunjukkan berakhir. Hal tersebut memberi petunjuk kepada kita bahwa apa yang telah kita resapi di dalam pertunjukkan wayang kulit seharusnya segeralah kita cari makna yang tersirat di dalamnya. “Golek”, dalam bahasa Indonesia berarti “cari”. Dengan demikian kita mendapat ajakan untuk mencari makna yang tersimpan sebagai isi dari pagelaran yang baru saja di pentaskan.
           Wayang mempunyai simbol dan nilai-nilai istimewa yang tersembunyi di dalamnya, makna simbolis di dalam istilah “Ringgit” sebagai sinonim dari wayang. Wayang purwa, disebut pula “Ringgit Purwa”. Ringgit berasal dari dua kata: Miring dan Anggit yang dipersatukan. Miring mempunyai arti tidak tegak lurus. Jadi untuk memperoleh pandangan isi dan bentuk yang sebenarnya haruslah kita memproyeksikan kembali pada proyeksi tegaknya. Sedangkan Anggit berarti “Cipta”. Secara keselurhan Ringgit berarti: di cipta dalam bentuk yang miring. Selain kenyataan dari bentuk wayang juga dalam bentuk proyeksi miring, simbolis ini mengandung ajaran-ajaran yang belum nampak jelas, yang masing miring, merupakan perumpamaan (yang harus kita kupas).
        Istilah wayang itu sendiri telah memberikan petunjuk kepada kita bahwa yang disaksikan itu hanyalah bayangannya. Belum wujud yang sebenarnya. Sebab wujud yang sebenarnya terletak di balik “Kelir” (tabir). Untuk melihat bentuk yang sebenarnya kita harus menyingkirkan kelir itu. Perumpamaan wayang sebagai bayangan dari seluruh segi kehidupan, kita harus membuka tabir yang menyelubungi makna yang sebenarnya. Atau dengan kata lain, makna yang menjadi intisari terbungkus oleh selubung, kupaslah selubung yang menyelimuti itu, di sanalah isinya, di sanalah maknanya.
        Tempat pagelaran wayang diterangi dengan lampu yang disebut BLENCONG (semacam lampu dengan bahan bakar minyak kelapa). Pada awal pergelaran Ki Dhalang selalu memutar gunungan berkeliling Blencong. Gunungan sebagai lambang dari bumi, sedangkan blencong melukiskan matahari. Hal tersebut menggambarkan bahwa bumi mengelilingi matahari. Gunungan melukiskan bumi, oleh karena itu di dalamnya dipahatkan gambar manusia, rumah, bermacam-macam binatang dan tumbuh-tumbuhan. Blencong menyala dengan bahan bakar minyak kelapa, cahayanya menerangi seluruh ruangan. Artinya bahwa matahari menyinari seluruh bumi yang berguna untuk kehidupan yang ada didalamnya. Minyak kelapa melukiskan bahwa sinar matahari amat bermanfaat oleh bermacam kehidupan di bumi, dan planet lainnya (kelapa, pergeseran dari kata ke – alap, yang berarti terpakai/berguna).
          Cerita Wayang adalah simbol potret kehidupan dan jiwa manusia. Dengan demikian atau lebih tegasnya dengan memahami cerita pewayangan, kita dapat melihat diri sendiri yang sudah dibawa ke luar dari kepribadiannya sendiri. Kita bisa membaca, mempelajari, memahami dan meresapi, kemudian bisa mengoreksi dan memperbaikinya. Setelah itu baru bisa masuk kembali dengan lebih “mengerti” maknanya. Maka dari itu kita seolah-olah terlahir menjadi “manusia baru” yang lebih manusia dari sebelumnya. Lebih memahami makna sesungguhnya dari budaya kita sendiri.
 
Penulis : Eko Kimianto, S.Pd
Alumnus Pendidikan Seni Rupa UNNES/IKIP Semarang
Pendidik Seni Budaya di SMP Negeri 2 Gemuh 
Like
ccc

Add to Cart

SENI RUPA DALAM SEJARAH ISLAM

SENI RUPA DALAM SEJARAH ISLAM

SENI RUPA DALAM SEJARAH ISLAM
Sejarah Islam takkan bisa lepas dari karya seni, khususnya karya-karya seni rupa. Aksesoris Islam merupakan salah satu bukti sejarah bentuk kebersamaan dalam laju perkembangan budaya Islam. Di tambah dengan adanya bentuk-bentuk arsitektur yang amat menakjubkan dalam Kekhalifan Islam. Hal tersebut menunjukkan bahwa masa Islam adalah masa keemasan dalam berbagai bentuk karya-karya seni rupa, seperti karya Arsitektur, Kaligrafi, Desain, Tata Busana, Dekorasi, Persenjataan Perang yang bernilai seni dan berbagai aksesoris yang digunakan dalam kebutuhan sehari-hari pada masa-masa Islam tersebut.
           Sejarah Seni Rupa Islam adalah seni rupa yang berkembang pada masa lahir hingga akhir masa keemasan Islam. Rentang ini bisa didefinisikan meliputi Jazirah Arab, Afrika Utara, Timur Tengah, dan Eropa sejak mulai munculnya Islam pada 571 M hingga mulai mundurnya kekuasaan Turki Ottoman (Turki Utsmaniyah). Walaupun sebenarnya Islam dan keseniannya tersebar jauh lebih luas daripada itu dan tetap bertahan hingga sekarang.
           Seni rupa Islam adalah suatu bentuk yang khas. Prinsip seni rupa Islam memiliki kekhususan jika dibandingkan dengan seni rupa yang dikenal pada masa kini. Tetapi perannya sendiri cukup besar di dalam perkembangan seni rupa modern. Antara lain dalam  pemunculan unsur kontemporer seperti abstraksi dan filsafat keindahan. Seni rupa Islam juga memunculkan inspirasi pengolahan kaligrafi menjadi motif hias. Dekorasi di seni rupa Islam lebih banyak untuk menutupi sifat asli medium arsitektur daripada yang banyak ditemukan pada masa ini, perabotan. Dekorasi ini dikenal dengan istilah arabesque. Peninggalan seni rupa Islam banyak berbentuk masjid, istana, ilustrasi  buku, dan permadani.
            Seni rupa Islam tidak berdiri sendiri seperti Seni rupa Buddha ataupun Barat. Ia merupakan gabungan dari kesenian daerah-daerah taklukan akibat adanya ekspansi oleh kerajaan  bercorak Islam di sekitar Timur Tengah, Afrika Utara, Asia Kecil, dan Eropa dan  penaklukan oleh bangsa Mongol. Daerah ini didefinisikan sebagai Persia, Mesir, Moor, Spanyol, Bizantium, India, Mongolia, dan Seljuk. Selain itu ditemukan pula pengaruh akibat hubungan dagang, seperti Tiongkok. Ini disebabkan miskinnya seni rupa asli Arab pada saat itu walaupun dalam bidang sastra dan musik sebenarnya memperlihatkan hal yang menakjubkan. Keberagaman pengaruh inilah yang membuat seni rupa Islam sangat kaya. Hal ini terutama bisa dilihat dari arsitektur Islam yang memperlihatkan gabungan corak dari  berbagai daerah.
SENI RUPA ASLI JAZIRAH ARAB
            Seni rupa asli Jazirah Arab bisa terlihat dari arsitektur di sekitar wilayah Makkah dan Madinah. Kedua kota ini merupakan pusat pemerintahan pada masa Nabi Muhammad. Biasanya arsitektur asli Jazirah Arab berupa bentuk bangunan segi empat sederhana yang difungsikan sebagai tempat ibadah. Bagian tengah merupakan lapangan terbuka dengan dikelilingi pilar, dinding, dan kamar-kamar. Lapangan berfungsi sebagai tempat salat  berjamaah dan di bagian depan kiblat terdapat mimbar untuk khatib yang memberikan ceramah keagamaan. Contoh bangunan yang masih memperlihatkan ciri arsitektur ini adalah Masjid Nabawi.
 SENI RUPA UMAYYAH
            Seni rupa pada zaman Umayyah banyak dipengaruhi oleh kesenian Bizantium, sebagai akibat dipindahkannya pusat pemerintahan Islam dari Makkah ke Syria. Seni rupa ini banyak memperlihatkan ciri seni rupa kristen awal, yaitu bentuk-bentuk basilika dan menara. Seperti  bisa dilihat di Masjid Umayyah yang awalnya adalah Gereja Johannes di Damaskus. Interior masjid ini digarap seniman-seniman Yunani dari Konstantinopel.
          Pada masa ini ragam hias mosaik dan stucco yang dipengaruhi oleh pengulangan geometris sebagai tanda berkembang pesatnya ilmu pengetahuan. Selain itu ciri khas lapangan di tengah masjid mulai diganti oleh ruangan besar yang ditutup kubah.
           Pada masa ini pula dikenal kalifah yang sangat memperhatikan kelestarian masjid-masjid, yaitu Kalifah Abdul Malik dan Kalifah Al-walid. Kalifah Abdul Malik membangun Kubah Batu Karang (dikenal pula dengan nama Masjid Quber esh Sakhra dan Masjid Umar) sebagai  pengingat tempat dinaikkannya Nabi Muhammad ke langit pada peristiwa Isra-Miraj. Selain itu dibangun pula Masjid Al Aqsa. Dinasti Umayyah juga meninggalkan banyak istana yang memiliki ciri tersendiri, yaitu  bangunan di tengah-tengah gurun pasir yang terasing, walaupun kini banyak yang telah rusak. Contohnya adalah Istana Kusair Amra.
 SENI RUPA ABBASYIAH
            Perkembangan seni rupa periode ini dimulai sejak tahun 747 M sebagai akibat keruntuhan Dinasti Umayyah akibat revolusi oleh Keluarga Abbasiyah bersama kelompok Syiah. Seni rupa ini terkonsentrasi di pusat pemerintahan baru di daerah Baghdad dan kemudian pindah ke Sammara, Persia (sekarang wilayah Iran dan Irak).
           Walaupun sebenarnya Baghdad adalah  pusat pemerintahan dan kebudayaan, namun penyerangan oleh bangsa Mongol membuat hampir seluruh peninggalan di daerah ini musnah, sehingga bukti karya lebih banyak didapat di daerah-daerah sekitarnya. Seni rupa pada zaman ini maju akibat lancarnya perdagangan dengan bangsa Syria, Tiongkok, India, dan bahkan Nusantara.                 Disamping hal itu dimulai banyak penerjemahan tulisan-tulisan kuno Yunani, sehingga seni ilustrasi berkembang.
          Peninggalan penting dari masa ini adalah Masjid Mutawakkil, Masjid Abu Delif, dan bekas istana kalifah. Masjid pada zaman ini berciri mirip bangunan kuno mesopotamia, yaitu menara yang semakin mengecil di bagian ujungnya dan motif hias abjad Kufa, yaitu motif hias dari kaligrafi berbentuk tajam dan kaku. Selain itu ditemukan bentuk tiang melengkung. Pindahnya kekuasaan dari keluarga Abbasyiah ke Fatimiyah dan dipindahkannya ibukota ke Mesir membuat pengaruh seni Afrika Utara menjadi kuat.
 SENI RUPA TURKI
          Pengaruh Turki didapat dari penaklukan Iran oleh bangsa Turki pada abad 11 M. Di bawah kekuasaan ini Bizantium, Iran, Mesopotamia, dan Asia Kecil bersatu di bawah kerajaan  bercorak Islam. Pada masa ini seni rupa yang berkembang adalah dekorasi dan tekstil. Antara lain ditemukan teknik hias batu bata. Selain itu ditemukan kaligrafi dengan abjad nashi dan juga banyak  pengaruh keramik-keramik Tiongkok dari dinasti Sung.
 SENI RUPA KORDOBA
           Dimulai pada tahun 750, Seni rupa Kordoba meliputi daerah Spanyol dan Moor. Contoh  peninggalannya adalah Masjid Kordoba. Ia merupakan gabungan kesenian Yunani klasik dan kesenian lokal yang tidak terorganisasi dengan baik menjadi satu kesatuan. Ciri utamanya adalah pelengkung tapal kuda. Ciri khas seni rupa dari Moor adalah pemakaian motif yang diinspirasi oleh pengulangan ilmu ukur.
KAMALUDIN BEHZAD MAESTRO SENI LUKIS MINIATUR
          Maestro seni lukis Persia. Begitulah Kamaluddin Behzad--pelukis miniatur terkemuka dari Persia-- itu kerap dijuluki. Ia adalah pelukis miniatur ulung yang mendedikasikan dirinya di istana Dinasti Timurid serta Safawiyah. Sebagai pelukis andal, Behzad pun didapuk sebagai direktur bengkel seni lukis (kitabkhana) yang memproduksi risalah bergambar dengan gaya yang khas
          Behzad terlahir sebagai anak yatim di kota Herat (Afghanistan) pada 1450 M. Ia dibesarkan oleh ayah angkatnya, seorang pelukis terkemuka bernama Mirak Naqqash. Behzad pun tumbuh sebagai anak yang menggemari lukisan. Berkat kemampuan melukisnya, sang maestro pun dipercaya penguasa Timurid, Sultan Husain Bayqarah (berkuasa 1469 M-1506 M), untuk menjadi pelukis istana.    Selain dipercaya Sultan, Behzad juga sering diminta oleh para penguasa Timurid untuk melukis.                               Ketika kekuasaan Dinasti Timurid ambruk, pamor Behzad sebagai maestro lukis tetap bersinar. Tak heran, jika penguasa Dinasti Safawiyah yang berpusat di Tabriz juga mengangkatnya sebagai pelukis istana. Saat itu, Dinasti Safawiyah dipimpin oleh Shah Ismail I Safav. Behzad pun diangkat sebagai direktur studio lukis istana Safawiyah. Dengan kepercayaan itu, sang maestro pun mengembangkan seni lukis yang kemudian menjadi ciri khas lukisan Persia.  
           Pelukis Persia di era Behzad kerap menggunakan susunan elemen-elemen arsitektur geometrik sebagai struktur atau konteks komposisi dalam menyusun gambar. Behzad pun memiliki kemampuan dalam membuat landskap. Ia sering menggunakan simbol-simbol sufi dan simbol warna untuk menyampaikan pesan. Behzad pun dikenal sebagai pelukis yang memperkenalkan aliran naturalisme ke dalam lukisan Persia. Karya-karya Behzad dikenal hingga ke peradaban Barat. Karya lukisnya digunakan dalam buku Layla Majnun dan Haft Paykar.
         Seperti halnya Abu Nawas, sosok Behzad pun terbilang legendaris. Jika figur Abu Nawas masuk dalam cerita Hikayat 1001 Malam, Behzad pun dijadikan salah satu figur dalam kisah novel karya Orphan Pamuk berjudul, My Name is Red. Dalam novel itu, Behzad diceritakan sebagai seorang pelukis miniatur Persia yang sangat hebat. Behzad meninggal pada 1535 M. Ia dimakamkan di Tabriz. Sosoknya hingga kini masih tetap dikenang. Patung Behzad hingga kini masih tetap berdiri kokoh di 2-Kamal Tomb, Tabriz--kota terbesar keempat di Iran. Behzad tetap dianggap sebagai pelukis hebat dan legendaris milik bangsa Iran khususnya dan Islam pada umumnya.
           Begitulah sekilas sejarah tentang seni rupa Islam. Hal ini untuk membuka mata kita bahwa Islampun tak pernah lepas dan anti terhadap karya-karya seni rupa. Islam adalah agama yang mencintai keindahan dan keindahan itu adalah Islam. Seni pada prinsipnya adalah sesuatu yang mempunyai unsur keindahan, baik keindahan yang bersifat objektif maupun keindahan yang bersifat subjektif.
          Sejarah tersebut juga untuk memperlihatkan bukti bahwa karya seni rupa Islam bukan hanya bentuk kaligrafi saja, tetapi meliputi segala unsur seni rupa yang lainnya. Karya seni rupa Islam adalah segala bentuk karya seni rupa yang menjunjung tinggi ke”ESA”an Allah SWT dengan mencintai segala keindahan yang telah diciptakanNya. Keindahan tersebut harus bersih dari unsur yang membawa manusia pada kesyirikan dan bersih dari segala sesuatu yang berbau menyekutukan Allah. Intinya adalah seni rupa yang diperbolehkan dalam Islam merupakan hasil karya tentang keindahan yang terhindar dari perbuatan syirik. Sekian banyak keindahan yang ada di alam semesta, bisa dimanfaatkan manusia sebagai media, ekspresi  dan ide dalam menciptakan berbagai bentuk kreativitas karya-karya seni rupanya.

Penulis : Eko Kimianto, S.Pd
Alumnus Pendidikan Seni Rupa UNNES/IKIP Semarang
Pendidik di SMP Negeri 2 Gemuh, bidang studi Seni Budaya.
Like
ccc

Add to Cart

BELAJAR SEBAGAI SARANA BERCANDA DENGAN ILMU

BELAJAR SEBAGAI SARANA BERCANDA DENGAN ILMU

BELAJAR SEBAGAI SARANA BERCANDA DENGAN ILMU
         Belajar kadang menjadi momok bagi sebagian besar anak. Mendengar perkataan belajar, anak/siswa seakan mendengar sesuatu  yang enggan untuk dijamah bagi mereka. Rasa berat hati untuk memulai dan melakukan kegiatan yang dinamakan belajar. Anak merasa terbebani untuk melakukan kegiatan belajar. Seakan mereka akan melakukan sesuatu kegiatan yang membuat dirinya tertekan, memberatkan dan menakutkan hingga akhirnya anak-anak tersebut malah menjauhi dan tidak melakukan kegiatan belajar tersebut.
        Kenapa belajar menjadi sesuatu kegiatan yang kurang disukai oleh anak? Kenapa bisa terjadi? Menurut survei yang dilakukan oleh Tony Buzan selama 30 tahun,   ia melakukan penelitian yang berkaitan dengan asosiasi seseorang terhadap kata "belajar". Waktu ditanyakan kepada responden kesan apa yang muncul dalam pikiran mereka saat mendengar kata "pendidikan" atau "belajar", jawabannya adalah "membosankan", "ujian", "pekerjaan rumah", "buang-buang waktu", "hukuman", tidak relevan", "tahanan", 'idih'....., "benci dan takut". Intinya belajar adalah sesuatu yang sangat membebani dan membatasi kebebasan anak untuk melakukan kegiatan yang disenanginya.
       Dari hasil survei tersebut dapat disimpulkan   bahwa belajar dan sekolah bukanlah hal yang menyenangkan bagi anak-anak. Padahal saat anak-anak belum cukup umur, mereka merengek-rengek mau ikut sekolah bersama kakaknya. Mereka juga senang menulis dan menggambar atau membuka-buka buku walaupun belum mengerti isinya. Mengapa bisa terjadi demikian?   Mungkin ada semacam sesuatu pemaksaan dan beban saat anak mulai bersekolah sehingga keasyikan mereka menguasai keterampilan menjadi hilang? Mari kita telaah terlebih dahulu makna belajar yang sesungguhnya.
       Kegiatan belajar adalah suatu  proses perubahan perilaku yang bersifat menetap melalui serangkaian pengalaman. Belajar tidak sekadar berhubungan dengan buku-buku yang merupakan salah satu sarana belajar, melainkan berkaitan pula dengan interaksi anak dengan lingkungannya, yaitu sosialisai untuk mendapatkan pengalaman. Hal yang penting dalam belajar adalah perubahan perilaku, dan itu menjadi target dari belajar. Dengan belajar, seseorang yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa.
       Kita perlu memperluas pemahaman tentang belajar tidak hanya pada pengetahuan yang bersifat konseptual, melainkan juga hal-hal yang menyangkut keterampilan serta sikap pribadi yang mempengaruhi perilaku seseorang. Ada beberapa hal yang perlu disentuh berkenaan dengan belajar yaitu: jati diri dan perkembangan kepribadian, latihan meningkatkan kemampuan dalam ketrampilan hidup, teknik berpikir atau pola pikir, kompetensi atau kemampuan yang bersifat akademik, fisik, dan artistik. Satu hal lagi yang sangat penting dan perlu disentuh yaitu sudut pandang keagamaan. Tingkat keyakinan religi seorang anak juga dapat berpengaruh terhadap pola belajar seorang anak.
       Pada dasarnya anak mempunyai tingkat berpikir yang brillian (Tony Buzan), mereka berkembang dalam suatu pembelajaran yang dipengaruhi oleh lingkungan, keluarga dan sosial belajarnya. Tingkat minat dan keinginan belajar anak sangat dipengaruhi ketiga hal tersebut, sehingga dapat ditarik benang merah ketidaksukaan anak dalam belajar juga dipengaruhi adanya lingkungan, suasana keluarga dan sosial belajarnya yang kurang mendukung. Lingkungan yang kurang mendukung suasana belajar membuat anak kurang berminat untuk mengikuti kegiatan belajarnya. Suasana keluarga dengan tingkat penekanan psikologis anak yang tinggi juga sangat mempengaruhi ketidaksukaan dan rasa ketakutan untuk berkreativitas dalam belajar. Hubungan interaksi sosial yang kurang baik diantara sekian penyebab keengganan anak untuk melakukan kegiatan belajar.
         Paradigma belajar yang lebih menekankan pada seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang di terapkan dalam memandang kenyataan sebuah komunitas yang sama, khususnya, dalam disiplin belajar secara kaku dan tekstual harus mulai ditinggalkan. Mulailah dengan cara pandang yang lebih menyeluruh dengan mengelola suasana emosianal anak ke arah yang lebih baik dan menyenangkan. Keengganan anak dalam belajar berawal dari keadaan emosionalnya. Jika anak tertekan, ketakutan dan dalam suasana yang tidak sesuai dengan kehendaknya bisa berakibat fatal. Akibatnya anak menjadi malas dan ingin menjauhi sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan belajar. Hal mendasar ini yang harus mulai ditinggalkan dan dihapus dari dalam pola pemikiran setiap anak.
        Langkah-langkah yang kaku dan terlalu menekan pada anak disamping membuat ketidaksukaan untuk belajar juga bisa berpengaruh pada suasana yang membosankan. Suasana membosankan ini bisa terjadi pada si anak, guru maupun orangtua yang menginginkan anaknya untuk belajar lebih serius. Hal ini juga perlu dicarikan solusi jalan keluarnya. Langkah-langkah mengenai hal ini misalnya dengan memberikan kesempatan anak untuk ngobrol dan bercanda dengan teman-temannya. Seolah-olah anak tersebut mencatat hal penting yang disampaikan guru. Pada kenyataannya mereka sedang asik berbincang tentang hal yang lebih menarik (musik, film, gossip, bahkan tak jarang membicarakan guru yang sedang mengajar).
        Belajar yang menjadi momok, tidak disukai dan menimbulkan kebosanan, semuanya ini harus dicarikan solusi jalan keluarnya. Jalan keluarnya adalah menciptakan suasana yang segar/fresh, suasana yang lebih santai dan seakan-akan berada diluar area proses belajar si anak. Berusaha menciptakan suasana belajar yang penuh dengan keceriaan, bebas dari tekanan dan dalam suasana yang seakan-akan pada situasi canda tawa mereka, walaupun juga harus dikendalikan dalam keseriusan yang tak nampak. Artinya canda gurau mereka masih dalam pakem belajar yang benar tetapi mereka tidak merasa terkekang dengan suasana kegiatan belajar yang sedang mereka lakukan. Proses belajar ini bisa dikatakan dengan istilah lain yaitu arena “BELAJAR SEBAGAI SARANA BERCANDA DENGAN ILMU”.
         Bentuk rasa senangdan canda dalam belajar adalah masalah suasana hati. Ini diperoleh melalui perlakukan guru dan orang tua melalui dorongan dan motivasi mereka. Sebenarnya yang diperlukan oleh anak dalam belajar adalah rasa percaya diri. Maka tugas orang tua dan guru tentu saja menumbuhkan rasa percaya diri mereka.. Dari pengalaman hidup, kita sering menemukan begitu banyak anak yang ragu-ragu atas apa yang mereka pelajari, sehingga mereka perlu didorong dan diberi semangat lewat kata – kata dan perlakuan.
        Apabila anak merasa kurang percaya diri, maka anak perlu dibantu. Coba menemukan hal hal positif pada dirinya dan pujilah dia agar rasa percaya dirinya bisa datang. Komentar -komentar positif dapat membangkitkan percaya diri mereka. Anak belajar memang tergantung pada faktor fisik (suasana lingkungan), faktor emosional (suasana hati) dan faktor sosiologi atau lingkungan teman, guru, orang tua dan budaya sekitar. Rasa senang dalam belajar dapat tercipta jika terjalin keakraban antara guru dan anak. Keakraban antara guru dan anak sangat menentukan keberhasilan belajar bagi anak. Jika hal ini terjalin suasana belajar akan lebih santai, lebih bisa mengungkapkan idenya sehingga lebih kreatif, anak akan lebih termotivasi ikut belajar sehingga anak akan lebih mudah menangkap pelajaran. Anak tidak akan merasa sungkan bertanya jika mereka tidak mengerti karena salah satu jalan membuat siswa cepat mengerti adalah dengan cara bertanya.
        Menjadikan suasana akrab dengan anak bukanlah hal yang sulit. Orang tua dan guru perlu menciptakan suasana bahwa pada saat belajar, orang tua, guru dan anak sedang belajar. Bahwa pada saat itu mereka juga didengar ide, pendapat dan kreativitasnya, guru/orang tua akan menjadi pengarah dan fasilitator mereka dalam belajar. Dan guru perlu bersikap adil terhadap siapapun, artinya anak perlu diperhatikan sesuai porsinya. Misalnya anak yang pintar perlu diarahkan untuk lebih memperhatikan temannya yang kurang pintar. Anak yang nakal perlu diaktifkan untuk lebih berperan dalam proses belajar misalnya dengan menunjuk anak tersebut untuk membantu menertibkan teman – temannya. Guru menegur dan marah juga harus pada tempatnya dan ada alasannya. Dan salah satu cara untuk menciptakan suasana akrab dengan anak adalah berusaha untuk mengenal secara fisik dan psikologisnya.
       Lingkungan belajar melibatkan orang-orang, perilaku, gagasan, dan suasana hati. Untuk memaksimalkan dorongan alamiah dalam diri anak, lingkungan belajarnya harus memenuhi beberapa persyaratan. Anak membutuhkan lingkungan yang menanggapi perilakunya. Lebih cepat dan lebih konsisten tanggapan yang diberikan kepadanya, maka lebih cepat ia akan belajar. Persyaratan utama yang lain adalah kebebasan. Anak merasa tidak aman bila tidak ada batasannya. Dengan memberikan batasan tertentu, anak cukup leluasa untuk menyelidiki. Untuk menumbuhkan semangat kemandirian pada seorang anak dan kemampuan untuk mengambil inisiatif, berikan dia kesempatan untuk memilih apa yang ingin dilakukan atau pelajari.
        Langkah-langkah tepat dengan tetap menempatkan anak sebagai sosok yang perlu diberikan perhatian lebih  akan memberikan cara pandang anak tentang apa itu sebenarnya belajar. Mereka akan menyadari bahwa ternyata belajar itu sangat menyenangkan. Belajar bukan sesuatu yang menakutkan, belajar bukan sesuatu yang membosankan tetapi belajar adalah sarana untuk menyegarkan kembali kesenangan dan kegembiraan yang ada pada diri si anak tersebut. Belajar menjadi suatu sarana untuk menyalurkan hobi mereka dalam bentuk afektif (moral), kognitif (pengetahuan) serta psikomotor (ketrampilan/olahraga). Sehingga belajar benar-benar sebagai sarana untuk bercanda dengan ilmu.
         Untuk menciptakan tercapainya suasana “BELAJAR SEBAGAI SARANA BERCANDA DENGAN ILMU” perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut: pertama, peran orang tua dan guru sangat diperlukan dalam membangkitkan semangat belajar siswa.Kedua, guru harus dapat menciptakan suasana yang menyenangkan saat belajar di kelas agar siswa tidak bosan. Ketiga, meningkatkan rasa percaya diri sangat dibutuhkan oleh siswa dalam belajar.Keempat, suasana belajar merupakan factor utama dalam mencapai sasaran pembelajaran.Kelima, belajar juga bisa dilakukan di luar kelas untuk mengganti suasana, agar tidak membosankan.
       Semoga dengan cara-cara di atas akan menciptakan wawasan baru bagi anak tentang nikmat dan bahagianya melakukan suatu kegiatan belajar. Pandangan yang lebih menyegarkan dan lebih santai karena ternyata belajar hanyalah sebagai sarana bercanda dalam mengarungi luasnya suatu ilmu. Belajar tidak harus dilakukan dengan suatu teknik yang terlalu formal dan mungkin terlalu kaku dan kadang menegangkan bagi sebagian besar anak-anak. Dengan cara itu pula akan didapatkan anak-anak yang sehat fisik, moral maupun psikologisnya.

Penulis : Eko Kimianto, S.Pd
Alumnus Pendidikan Seni Rupa UNNES/IKIP Semarang
Pendidik Seni Budaya di SMP 2 Gemuh
Like
ccc

Add to Cart