Help/Support
Like
Contact
PELUKIS MAESTRO HENDRA GUNAWAN

PELUKIS MAESTRO HENDRA GUNAWAN

Hendra Gunawan



Dagang Ayam karya Hendra Gunawan



Pengorbanan Ibu karya Hendra Gunawan

Hendra Gunawan (pelukis)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Nama :Hendra Gunawan

Lahir :Bandung, Jawa Barat,11 Juni 1918

Wafat :Denpasar, Bali, 17 Juli 1983

Profesi :Pelukis dan Pematung

Seniman Seni Rupa

Hendra Gunawan

Dilahirkan pada 11 Juni 1918 di Bandung, Jawa Barat. Ia beruntung karena sempat sempat masuk sekolah dan belajar melukis pada Wahdi, seorang pelukis pemandangan. Dari Wahdi, ia banyak menggali pengetahuan tentang melukis. Kegiatannya bukan hanya melukis semata, tetapi pada waktu senggang ia menceburkan diri pada grup sandiwara Sunda sebagai pelukis dekor. Dari pengalaman itulah, ia mengasah kemampuannya.

Pertemuannya dengan Affandi merupakan fase dan sumber inspirasi jalan hidupnya untuk menjadi seorang pelukis. Dengan didasari niat yang tulus dan besar, ia memberanikan diri melangkah maju. Bermodalkan pensil, kertas, kanvas dan cat ia mulai berkarya. Komunitas dari pergaulannya ikut mendukung dan terus mendorongnya untuk berkembang. Keberaniannya terlihat ketika ia membentuk Sanggar Pusaka Sunda pada tahun 1940-an bersama pelukis Bandung dan pernah beberapa kali mengadakan pameran bersama.

Revolusipun pecah, Hendra ikut berjuang. Baginya antara melukis dan berjuang sama pentingnya. Pengalamannya di front perjuangan banyak memberi inspirasi baginya. Dari sinilah lahir karya-karya lukisan Hendra yang revolusioner. Lukisan “Pengantin Revolusi”, disebut-sebut sebagai karya empu dengan ukuran kanvas yang besar, tematik yang menarik dan warna yang menggugah semangat juang. Nuansa kerakyatan menjadi fokus dalam pemaparan lukisannya.



Pada tahun 1947, ia mendirikan sanggar Pelukis Rakyat bersama temannya, Affandi. Dari sanggar ini banyak melahirkan pelukis yang cukup diperhitungkan seperti Fajar Sidik dan G. Sidharta. Selain melukis, mematung juga merupakan bagian dari kesehariannya. Hasilnya, patung batu Jenderal Sudirman di halaman gedung DPRD Yogyakarta.

Keberpihakannya pada rakyat membuatnya harus mendekam di penjara selama 13 tahun antara tahun 1965-1978, karena ia tercatat sebagai salah seorang tokoh Lekra. Ketika dipenjara, ia masih terus melukis dengan warna-warna yang natural dengan menggunakan kanvas berukuran besar. Semua itu diperolehnya dari begitu seringnya ia belajar dari ikan, baik warnanya maupun karakter ikan yang tidak mengenal diam.

Pelukis yang dekat dengan penyair Chairil Anwar memilih Bali sebagai pelabuhan hati yang teduh, tenang dan ayem. Selain bergaul dengan para pelukis, ia juga bergaul dengan penyair sekaliber Umbu Landu Paranggi, penyair kelahiran Sumba yang menetap di Bali. Umbu sangat menghargai Hendra karena selain catatannya kerjanya didunia seni lukis sebagai maestro ternyata Hendra pun menulis puisi.

Ikan baginya merupakan sumber yang tidak ada habis-habisnya. Dari ikanlah ia dapat melihat warna alami yang sesungguhnya. Sebelum ia meninggal, karya lukisnya tentang tenggelamnya kapal Tampomas membuatnya terinspirasi. Hanya saja ia menggambarkan potret diri yang diserbu ikan-ikan. Ternyata, potret itulah manifestasi dirinya berterima kasih pada ikan-ikan yang menjadi sumber inspirasinya. Sayangnya lukisan tersebut tidak selesai dan diberi judul Terima Kasih Kembali Protein. Karya lukisan ini merupakan pertanda terakhir Hendra Gunawan sebelum menghadap Illahi. Ia meninggal di RSU Sanglah, Denpasar, Bali, 17 Juli 1983. Dan dimakamkan di Pemakaman Muslimin Gang Kuburan Jalan A. Yani, Purwakarta.

(Sumber : http://www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/hendragunawan.html)





Like
ccc

Add to Cart

DULLAH

DULLAH

Dullah

Nama :

Dullah

Lahir :

Solo, Jawa Tengah,

17 September 1919

Profesi :

Pelukis dan penulis

Karya Buku :

Lukisan-lukisan koleksi DR. Ir. Soekarno, Presiden RI, sebayak 4 jilid diterbitkan di RRC tahun 1956 dan 1961,

Ukiran-ukiran rakyat Indonesia koleksi DR. Ir. Soekarno Presiden RI, diterbitkan di RRC tahun 1961,

Karya dalam peperangan dan revolusi, diterbitkan di Indonesia tahun 1982.

Suatu hari di akhir tahun 1979, pelukis Affandi menjemur seorang muridnya di Pejeng, Bali, tatkala matahari menyengat. Murid yang sudah berusia 60 tahun itu, Dullah, tak berani membantah. Apalagi protes. Affandi lagi kerajingan membuat rekonstruksi poster besarnya di zaman perjuangan, berjudul Boeng Ajo Boeng, yang pernah dianggap sebagai poster perjuangan pertama yang dibuat orang disini.

Dullah dikenal sebagai seorang pelukis realis. Corak lukisannya realistik. Mempunyai kegemaran melukis portrait (wajah) dan komposisi-komposisi yang menampilkan banyak orang (group). Diakui sebagai guru melukisnya adalah dua orang pelukis kenamaan ; S. Sudjojono dan Affandi. Meskipun demikian corak lukisannya tidak pernah mempunyai persamaan dengan dua orang gurunya.

Pernah dikenal sebagai pelukis istana selama 10 tahun sejak awal tahun 1950-an, dengan tugas khas memperbaiki lukisan-lukisan yang rusak dan penyusun buku koleksi lukisan Presiden Soekarno. Dullah juga dikenal sebagai pelukis revolusi, karena dalam karya-karyanya banyak mengetengahkan tema-tema perjuangan selama masa mempertahankan kemerdekaan.

Pada waktu perang kemerdekaan II, saat Yogyakarta diduduki oleh tentara Belanda pada 19 Desember 1949 hingga 29 Juni 1950, Dullah memimpin anak didiknya yang masih belum berumur 17 tahun untuk melukis langsung peristiwa-peristiwa selama pendudukan Yogyakarta sebagai usaha pendokumentasian sejarah perjuangan bangsa. Lukisan-lukisan yang dihasilkan ketika itu diulas di surat-surat kabar bahkan oleh Affandi dinilai sebagai karya satu-satunya di dunia.

Dullah merupakan salah seorang pelukis realis yang jarang berpameran. Tapi pamerannya bersama anak-anaknya di Gedung Agung (Istana Kepresidenan Yogya) tahun 1978, berhasil menarik puluhan ribu orang. Meskipun pameran diperpanjang satu hari, pintu gerbang Gedung Agung bagian Utara sempat pula jebol. Pameran itu dilanjutkan 20 Desember 1979 hingga 2 Januari 1980, di Aldiron Plaza, Jakarta. Banyak orang kecewa karena ia tak menjual lukisannya.

Menenun, Cat minyak diatas kanvas, 90 x 12 cm

Baginya melukis adalah media untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Dullah termasuk pendiri Himpunan Budaya Surakarta (HBS). Kemudian didirikannya sebuah sanggar di Pejeng, Bali. Pada setiap pameran baik didalam atau diluar negeri, karya murid-muridnya ikut disertakan.

Ia juga menulis sajak. Beberapa sajaknya dimuat dalam bunga rampai sastra Indonesia yang di himpun oleh H.B Jassin. Pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan terbit dalam sebuah kumpulan di Pakistan. Sebuah puisinya yang berjudul Anak Rakyat ditulis tahun 1943 dan dimuat dalam Gema Tanah Air, barangkali sudah mengisyaratkan kegandrungannya kepada tema perjuangan dalam lukisan-lukisannya. Dullah mendirikan museum pribadi di Solo pada tahun 70-an, dan hingga kini museum tersebut masih representatif dan dikelola oleh pemerintah Kotamadya Surakarta.

Banyak lukisan-lukisannya yang menjadi koleksi pejabat-pejabat penting pemerintahan baik dalam maupun luar negeri, tokoh masayarakat dan orang terkemuka, diantaranya Presiden pertama RI Soekarno, Wakil Presiden pertama RI Muhammad Hatta, Adam Malik, mantan Presiden Amerika Serikat Eisenhower, mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Walter Mondale, mantan Perdana Menteri Australia Rudolf Menzies dan museum seni lukis di Ceko.

(Dari berbagai Sumber)

http://www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/dullah.html

Like
ccc

Add to Cart