Neorealisme, Wajah Lama Seni Rupa (di Semarang)
TAK salah, sama sekali tak salah, ketika seorang pelukis memilih realisme sebagai teknik pengucapan artistik. Aliran yang dikenal sama tua dengan seni rupa itu telah melahirkan seniman besar semacam Edouard Manet, Jean-Francois Millet, atau da Vinci.
Bukankah lewat citraan realistis, seorang seniman tetap bisa membangun c itraan, baik sebagai simbol, keadaan, maupun peristiwa? Lagi pula siapa berani memungkiri, bahasa ungkap seni rupa bermula dari citra realistis?
Ya, tak pula salah ketika Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT) menggelar pameran lukisan realis. Pameran itu digelar di Galeri Seni Rupa Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) di kompleks PRPP, Tawangmas,
Semula saya menaruh harapan besar atas tajuk pameran yang juga besar, ''Neorealism: Menata Ruang Estetika''. Terbersit harapan di kepala, moga-moga ada hal baru yang bisa saya temukan di pameran itu.
Apalagi, dalam katalog pameran, Ketua Komite Seni Rupa DKJT Hartono menjanjikan ada pewacanaan baru untuk menata ruang kreativitas seniman pada perhelatan itu. ''Neorealism berorientasi pada pemahaman apresiasi, konsep, dan pewacana.'' Ai, gagah nian.
Disebutkan, pameran itu merupakan ajang unjuk karya pelukis
Catatan kuratorial Mahmoud Elqadrie tak kalah gempita. Dia berkisah tentang sejarah panjang realisme
''Dinamika pergulatan realisme
Biasa
Namun, Kawan, begitu ruang pameran dibuka, Sabtu (16/9) malam, sedikit demi sedikit harapan membuncah itu memunah. Satu demi satu lukisan yang terpajang di dinding terlewati, tetapi rasa nges di dada tak kunjung terbangkitkan.
Benar, dari sisi teknik goresan atau sapuan nyaris paripurna. Lihat saja ''Try'' Kok Poo, ''Nyaman'' Teguh Wibowo, "Berkubang'' Wibowo Sanjoyo, atau ''Nyusuki'' Cak Min. Memang banyak lukisan memanjakan indra visual. Namun, toh masih juga terselip lukisan alam benda, untuk tak menyebut mangga-pisang-jambu, yang bersahaja. Berkesan tanpa pesan apa-apa.
Atau, jangan-jangan saya terlampau bodoh untuk bisa menangkap pesan di sebalik citraan realistis itu? Jangan-jangan, pesan begitu dalam. Lepas dari itu, saya kira pemasangan tajuk ''Neorealism'' terlampau berlebihan. (Achiar M Permana-53)
Artikel diambil dari http://www.suaramerdeka.com/harian/0609/19/bud01.htm