KOMIK KARYA GANES TH II
KOMIK KARYA GANES TH
KARYA HANS JALADARA
SANG LEGENDA KOMIK INDONESIA: HANS JALADARA
Hans Rianto Sukandi (lahir di Kebumen, Jawa Tengah, 4 April 1947) atau yang lebih dikenal dengan nama pena Hans Jaladara atau hanya Hans adalah seorang komikus yang terkenal di Indonesia. Dia dikenal sebagai pencipta serial Panji Tengkorak, komik cerita silat Indonesia yang populer.
Karier komik
Nama Jaladara baru dipakai Hans pada awal tahun 1970-an karena ada peniru dengan nama Han, tanpa huruf S. Jaladara diambil dari tokoh komik wayang karya Ardi Soma, yaitu Wiku Paksi Jaladara.
Hans yang pada awalnya membuat komik jenis drama, kemudian diminta sebuah penerbit untuk membuat komik serupa Si Buta dari Goa Hantu karya Ganes TH. yang waktu itu tengah menjadi idola di kalangan penggemar komik. Hans kemudian menciptakan tokoh Pandji Tengkorak pada tahun 1968 dan komik ini sangat sukses di pasaran. Komik Pandji Tengkorak pada tahun 1971 diadaptasi menjadi sebuah film aksi laga layar lebar berjudul sama yang dibintangi oleh Deddy Sutomo, Shan Kuan Ling Fung, Rita Zahara, Lenny Marlina dan Maruli Sitompul.
Kebiasaan membaca (termasuk komik) merangsang Hans untuk berimajinasi dan merangkai cerita. Gerakan silat dalam komik merupakan aktualisasi dari ilmu yang diperolehnya saat belajar kungfu di perguruan Cheng Bu di kawasan Mangga Besar dan judo pada Tjoa Kek Tiong.
Sekitar tahun 1975 sampai 1980-an, komik Indonesia mengalami kemerosotan seiring dengan membanjirnya komik-komik impor. Hans masih bertahan dan sempat menerbitkan Pandu Wilantara dan Durjana Pemetik Bunga. Semangatnya mulai bangkit kembali ketika ada tawaran untuk memproduksi kembali Panji Tengkorak versi 2 pada tahun 1984 dan kemudian versi 3 tahun 1996.
Pada tahun 1990 Hans menggeluti dunia seni lukis dan beberapa kali mengikuti pameran. Ia mengaku terlambat membuat lukisan, setidaknya jika diukur dari masa kejayaan lukisan. Melukis dan mengajar hingga kini masih ia tekuni agar hobi menggambarnya tetap tersalurkan. Dunia komik memang telah menjadi bagian dari hidupnya bahkan kedua putrinya berhasil Ia sekolahkan hingga perguruan tinggi dari penghasilan membuat komik. Ia masih menaruh harapan besar, suatu hari kelak komik lokal kembali berjaya di negerinya sendiri.
Karya Hans Jaladara
- Pandji Tengkorak
- Walet Merah
- Si Rase Terbang
- Kembalinya Si Rase Terbang
- Dian dan Boma
- Drama di Gunung Sanggabuana
- Pandu Wilantara
- Durjana Pemetik Bunga
- Duel Terakhir
- Intan Permata Rimba
KOMIK KARYA TEGUH SANTOSA
PELUKIS KOMIK: TEGUH SANTOSA
Bio Data Teguh Santosa:
Bagi para pencinta komik nama Teguh Santosa tentu tak asing lagi. Komikus kelahiran Malang, Jawa Timur 1 Februari 1942 (meninggal 25 Oktober 2000) ini pernah melaju sebagai komikus papan atas Indonesia sezaman dengan R.A. Kosasih, Jan Mintaraga, Hans Jaladara dan Ganes Th. Lewat ciri khas gambar-gambarnya yang eksotik dan kedetailan garis-garis ilustratif, Teguh Santosa pernah dipinang oleh Marvel Comics salah satu penerbit komik terbesar dunia yang berbasis di New York sebagai ink-man. Serial Conan, Alibaba dan Piranha adalah tiga serial komik yang pernah digarap oleh komikus yang kesohor lewat tokoh Mat Pelor ciptaannya ini sebagai ink-man.
Teguh Santosa meninggal dunia di tengah kegalauan ketika dunia komik Indonesia ”dijajah” komik impor Jepang pada 20 Oktober 2000 silam akibat kanker yang menyerang tangan kanannya. Karya Teguh Santosa yang pertama berjudul Paku Wojo yang dibuatnya pada tahun 1964, disusul karya roman sejarah Ranggalawe di tahun yang sama. Lalu hingga ia meninggal dunia tidak kurang dari 125 judul komik dibuatnya.
Teguh yang menikah dengan Sutjiati (almarhumah) dikaruniai empat anak: Theaterina Onwardini, Dhani Valiandra, Aprodita Anggraini, dan Dody Syailendra. Jiwa seni menurun kepada Dhani dan Dody yang kuliah di Institut Seni Indonesia. Darah seni Teguh berasal dari ayahnya Soemarmo Adji dan ibunya Lasiyem yang merupakan seniman ketoprak. Mereka pemilik tobong ketoprak ”Krido Sworo pada waktu itu. Mbah Marmo—sebutan untuk Soemarmo—dikenal sebagai pelukis layar sebagai latar belakang panggung ketoprak. Teguh hanya menamatkan sekolah di SMA 4 Malang, kemudian pada tahun 1966 pindah ke Yogya dan bergabung dengan ”Sanggar Bambu” dan berguru melukis pada Kentardjo, Soenarto PR, dan sastrawan Kirdjomulyo. Menjelang meninggal dunia, komikus Teguh masih mengigau dalam ketidaksadarannya: ”Keris itu harus dilempar ke lereng Tengger...” Dan Teguh meninggal dalam tenang pada dini hari 25 Oktober 2000.
In Memoriam Teguh Santosa (1942-24 Oktober 2000):
Jualan Amplop Sebelum "Main Silat"
The King of Darkness
Corak lukisannya memang khusus. Ia menyukai "block-block" warna
gelap. Karena itu banyak yang mengolokinya sebagai ¡°King of
Darkness¡±, artinya ¡°Raja Kegelapan¡±. Corak ini sebenarnya merupakan
hasil dari suatu perkembangan yang tidak serta merta. Mula mula corak
lukisannya lebih mengarah pada ¡±gaya Yogya¡± yang sok ¡±nyeni¡±,
menurut istilah Teguh. Ia banyak menjiplak gaya illustrasi Ekana
Siswaya yang terdapat pada majalah Minggu Pagi. Waktu itu Teguh masih
duduk di bangku SMA.
¡±Maklum, sebagai remaja waktuitu rasanya tidak sreg kalau gembarnya
tidak ¡±nyeni¡±, ¡± tutur Teguh. Yang dianggap sebagai ¡±karya seni¡±
yakni lukisan-lukisan yang mengarah ke bentuk vignet, menggambar
orang matanya Cuma satu.
Tapi itu hanya satu tahap. Ketika banyak membantu di majalah ¡±Djaja
Baja¡±, ia dianjurkan untuk menggambar dengan corak illustrasi
Kentardjo S. Har atau Mieke SD yang waktu itu banyak ditemui di
Penjebar Semangat ataupun buku detektif Naga Mas.
Lalu ia pun banyak belajar dari illustrasi-illustrasi komik barat,
seperti Flash Gordon karya Alex Raymond. Dan terutama mengagumi karya
karya Taguan Hardjo, cergamis angkatan Medan waktu itu.
Jualan Amplop
Waktu SMP, bakat menggambarnya tak begitu menonjol. Dalam suatu lomba
menggambar namanya tak tersebut, meskipun hanya sebagai pemenang
hiburan. Tapi waktu kelas 1 SMA, bakatnya mulai terasa. Ia mulai
belajar menggambar secara serius di luar jam pelajaran dalam sebuah
kelompok bernama ¡±Palet Hijau¡±, bersama teman-teman dan guru
sekolahnya.
Waktu SMA, ia kerap membantu illustrasi di ¡±Djaja Baja¡±. Lalu
setelah lulus (¡¯62), ia bekerja penuh sebagai illustrator koran ¡±
Gelora¡± di Surabaya. Koran ini, sebagaimana koran waktu itu yang
hanya mengandalkan subsidi pemerintah, akhirnya bangkrut tatkala
subsidi dicabut.
Karena amat terbatasnya gaji yang ia terima waktu kerja di Gelora
itu, Teguh menyambung hidupnya (waktu itu sudah menikah) dengan jalan
membuat illustrasi pada amplop surat dan menjualnya (waktu itu harga
amplop lebih mahal dari harga perangko).
¡±Hasilnya lumayan juga untuk menopang gaji di Gelora yang hanya
cukup untuk 10 hari¡±, tuturnya.
Kerja menggambar amplop ini bertahan selama 2 tahun, sampai ketika ia
ditarik untuk kerja di majalah ¡±Kemuning¡± di Semarang di tahun ¡¯66.
Waktu majalah anak-anak ini mengalami gejala kebangkrutan, satu
setengah tahun kemudian Teguh mudik kembali ke kampung isterinya di
Kepanjen, sebuah kota kecil, 18km selatan kota Malang.
Shandora
Waktu kerja di Gelora dulu, selain membuat illustrasi, tugasnya
antara lain membuat pula cerita bergambar bersambung. Biasanya dengan
tema sejarah, misalnya : Ronggo Lawe, Airlangga, Kertanegara, dsb.
Pertama kali karyanya terbit dalam bentuk komik, berjudul ¡±Suma¡±,
tahun 63. Dari honornya sebesar 10ribu rupiah itu, ia bisa membeli
sepasang cincin kawin (menikah dengan Sutjiati, bekas teman
sekolahnya waktu di Malang tahun 64).
Sejak tinggal di Kepanjen, ia lebih produktif membuat cergam. Waktu
itu kapasitas kerjanya hanya 2 judul dalam setahun. Pertama kali
berjudul ¡±Madeline¡± dan ¡±Tebusan Dosa¡± yang diterbitkan oleh Cahya
Kumala.
Teguh mulai memancangkan tonggaknya di tengah-tengah penggemar komik
di negeri ini dengan cerita-ceritanya yang bertema khas. Ia meledak
waktu muncul karyanya yang berupa trilogi : ¡±Shandora¡± (10 jilid), ¡±
Mat Romeo¡± (7 jilid) dan ¡¯Mentjari Majat Mat Pelor¡± (10 jilid).
Tema ¡±Shandora¡± sebenarnya merupakan saduran tak langsung dari
cerita film seri ¡±Angelique¡±. Ia tidak mengingkari ini. Teguh memang
banyak mengambil inspirasi dari cerita-cerita film yang ditontonnya.
¡±Saya senang dengan tema-tema yang hangat dan ada kaitannya dengan
masalah sekarang¡±, Teguh menyebut resepnya membuat cerita untuk
komik-komiknya.
¡±Menjadi pengarang seperti saya ini sulit ¡±, kata Teguh lebih
lanjut. Maksudnya, ia harus senantiasa mendengar kata atau komentar
dari pembacanya. Tak jarang yang mengusulkan agar tokoh dalam
ceritanya tidak dimatikan, meskipun dalam situasi tersulit
bagaimanapun. Ada pula yang mengusulkan cerita disambung dan
disambung terus.
Teguh memang berusaha untuk mengikuti arah selera dari pembaca
umumnya. Untuk itu ia sengaja mendirikan sebuah persewaan buku di
rumahnya. Istrinya yang mengelola.
¡±Lumayan buat tambah beli garam. Paling tidak bisa ikut membaca¡±.
Di antara pelukis komik lainnya, Teguh memang nampak paling mapan.
Puteranya 4 : Tea Terina Onwardini, Dhany Valiandra, Aphrodita
Anggraini, dan Doddy Syailendra.
arsip : komikindonesia.com
GADO-GADO METROPOLITAN
Berkembangnya gaya hidup dan transaksi jual beli model baru yang segala sesuatunya bertumpu pada system transaksi non tunai baik hutang jangka panjang maupun jangka pendek dengan disertai tawaran bunga yang sangat menggiyurkan atau diskon secara gila – gilaan , baik dibidang sandang, pangan, dan papan.dengan alasan katanya biar praktis atau dengan alih – alih demi untuk kemudahan dan keamanan.
Akan tetapi sadar maupun tidak kita telah terjebak dalam suatu wilayah system peradaban yang serba hutang dan cicilan, serta budaya akal – akalan.
Hal tersebut sudah terjadi di kota besar dan seolah jadi gado – gado metropolitan. Artikel dan gambar diambil dari http://jakartaartawards.com/index.php?mib=lukisan.profile&id=152