Salah satu lukisan Jeihan, diambil dari artkimianto.blogspot.com
JEIHAN SUKMANTORO
Jeihan, adalah salah satu perupa nasional yang berhasil membukukan diri sebagai pelukis penting saat ini. Ia salah seorang dari sejumlah pelukis figuratif yang melepaskan keberadaannya dari batasan ruang dan waktu. Baginya sehari bukanlah terbilang 24 jam tetapi lebih dari ribuan jam. Ruang tak hanya sebatas siang dan malam, tetapi matahari yang mengelilingi bumi tanpa berhenti.
Di Indonesia, juga di mancanegara sangat banyak pelukis figuratif manusia. Sebut saja pelukis Trubus, Basuki Abdullah, Sudarso dan Dullah. Di mancanegara, muncul sejumlah pelukis ‘figuratif’ yang juga berdesakan dalam lingkaran persaingan. Mereka yang bereputasi internasional ini antara lain John Singer Sargent yang klasikal, Ame Besser dan Hilo Chen yang fotorealistik di Amerika. Atau Rearngsak dan Shi Hu alias Tiger Stone, yang mengolah sosok lewat abstraksi, di Asia.
Di era seni lukis modern, di Indonesia maupun mancanegara tak terbilang yang bermain di wilayah itu. Begitu banyaknya pelukis ‘figuratif berkumpul di wilayah ini. Agaknya keadaan ini difaktori oleh konvensi umum, bahwa melukis manusia adalah dunia seni lukis (akademis). Tak pelak persaingan ketat di wilayah seni lukis figuratif manusia’ menjadi semacam gejala yang tak pernah usai. Seorang pelukis figuarif akan dituntut habis untuk tampil khas dan lukisan-lukisan yang diciptanya diminta hadir dengan tampilan dan isi yang spesifik.
Jeihan Slamet Sukmantoro, itulah nama lengkap pelukis yang sanggup melejit dari kawah besar pelukis figuartif. Ia menyiasati lukisan ‘figuratif manusia’ dengan inderanya yang tajam, di samping kecerdasan yang diperoleh dari Tuhan. Dimana sorot mata yang hitam pekat menjadi ciri atau spesifikasi yang khas bagi karyanya. Sejak tiga dasawarsa terakhir, karya-karyanya tampil dalam ‘rupa spesial’ yakni manusia yang berdiam di suatu ruang tanpa setting. Orang yang sedang tiduran tidak bertumpu pada benda yang sulit dilihat dengan kasat mata.
Tetapi penikmat lukisan dapat menafsir bahwa orang itu sedang tiduran. Manusia yang ditampilkan melihat kita dengan sepasang mata yang hitam legam. Sesuatu yang memberikan imaji bukan memandang kita, namun justru menyedot dan membawa kita ke dalam lorong pandangannya. Lahir di Boyolali, dekat Solo, Jawa Tengah, tahun 1938, dari keluarga blasteran. Ayahnya seorang laki-laki keturunan China dan ibunya seorang priyayi Jawa, yang bisa menari kratonan. Kendati pun pendidikan formalnya hanya sampai di tingkat Sekolah Dasar (SD), tetapi Tuhan memberikan jalan lain menuju sukses. Bakat seni orang tuanya mengaliri sekujur tubuh Jeihan yang kurus ceking, tetapi selalu Pede (percaya diri) bahwa pada suatu ketika perjalanannya yang jauh akan sampai pada tujuan yakni cita-cita awal, melukis, yang diminati sejak kecil.
Reputasi dan kapabilitasnya di blantika seni rupa diraih dengan perjuangan keras, tekun dan tak kenal putus asa. Mulanya ia memperoleh pendidikan seni lukis di Himpunan Budaya Surakarta, tahun 1953-1955. Menjadikan kematangan jiwanya yang makin riuh, cerdas lagi dalam. Keterampilannya melukis ibarat buah yang dialiri nutrisi dari akar yang kuat, dan matang. Ia jadi makin percaya dan bersama seniman lukis lainnya bersama-sama menancapkan ‘batu pelukis’ bagi cita-citanya di hari mendatang. Dari sana ia mencari dan terus mencari hingga sampai di titik pendidikan seni rupa ITB (Institut Teknologi Bandung) yang dientaskan selama tiga tahun (1961- 1966).
Sejak beberapa waktu lalu, ia telah membangun Gallery Seni Rupa bertingkat tiga di Pasir Layung, Bandung Utara.