Pada tahun 1992, Indonesia merebut tahta kehormatan bulutangkis di Olimpiade lewat medali emas yang dipersembahkan oleh Susi Susanti (Tunggal Putri) dan Alan Budikusuma (Tunggal Putra) – yang kemudian menjadi pasangan emas Olimpiade sepanjang sejarah bulutangkis. Indonesia juga meraih medali perak lewat Ardy Wiranata (Tunggal Putra) dan Rudy Gunawan/Eddy Hartono (Ganda Putra). Medali perunggu dipersembahkan oleh Hermawan Susanto (Tunggal Putra). Lihat saja, di sektor tunggal putra, tiga orang dari empat semifinalis Olimpiade berasal dari tim Merah-Putih, betapa tidak bangganya kita saat itu? Tiga Merah-Putih berkibar perkasa saat itu di sektor Tunggal Putra. Mengagumkan!
Tahun 1996, Indonesia kembali tersenyum di ajang paling bergengsi di dunia tersebut. Lagi-lagi, medali emas datang dari cabang bulutangkis. Kala itu, giliran Rexy Mainaky/Ricky Subagja (Ganda Putra) yang memboyong emas ke pangkuan ibu pertiwi. Masih di sektor Ganda Putra, rekan mereka, Denny Kantono/Antonius Budi Ariantho berhasil membawa pulang sekeping medali perunggu. Tidak sampai disana, dua srikandi Indonesia, Mia Audina (Tunggal Putri) dan Susi Susanti (Tunggal Putri) berhasil membawa medali, masing-masing medali perak dan perunggu. Coba lihat lagi, dua Merah-Putih yang gagah berkibar masing-masing di sektor Ganda Putra dan Tunggal Putri.
Di tahun 2000, medali emas dipersembahkan masih lewat nomor Ganda-Putra, Tony Gunawan/Candra Wijaya. Medali perak kala itu disabet oleh Hendrawan di Tunggal Putra dan Tri Kusharijanto/Minarti Timur di sektor Ganda Campuran. Empat tahun berikutnya, tahun 2004, Taufik Hidayat yang saat itu berusia 23 tahun berhasil menjaga tradisi emas Olimpiade di cabang bulutangkis. Saat itu, Taufik Hidayat berhasil berdiri di tempat tertinggi di sektor Tunggal Putra. Tidak seorang diri, rekan senegaranya, Sony Dwi Kuncoro berhasil meraih medali perunggu di sektor yang sama. Di nomor Ganda Putra, Flandy Limpele/Eng Hian juga ikut mempersembahkan sekeping medali perunggu saat itu.
Tiga tahun yang lalu, tahun 2008, Indonesia masih berjaya dengan merebut emas di nomor Ganda Putra lewat Markis Kido/Hendra Setiawan. Kala itu mereka membuyarkan impian ganda tuan rumah, Fu Haifeng/Cai Yun, untuk merebut emas di depan publik sendiri. Emas saat itu terasa istimewa, pasalnya bertepatan dengan perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia, pada tanggal 17 Agustus. Tentu hal itu merupakan sebuah kado manis untuk negri kita tercinta, Indonesia. Semangat 45 kala itu rupanya tertular ke srikandi Indonesia, Maria Kristin Yulianti. Datang sebagai pemain yang tidak diunggulkan, Maria Kristin Yulianti berhasil menumbangkan lawan-lawan tangguh, dan menjadi satu-satunya semifinalis yang berbendera selain Cina. Pada perebutan medali perunggu, ia menghadapi salah satu unggulan tuan rumah, Lu Lan. Ciri khasnya yang tenang dan tanpa ekspresi seakan tanpa lelah mengejar bola-bola pengembalian Lu Lan. Maria berjuang atas nama Merah-Putih hingga akhirnya dia memenangi pertandingan dengan rubber set (tiga set) dan sekaligus membuat pemain Cina itu menangis di lapangan. Saat itu rasanya saya ingin menangis melihat perjuangan Maria Kristin mengingat dia datang sebagai pemain yang tidak diunggulkan. Sekeping medali masuk dalam pundi-pundi Indonesia, medali perunggu. Tak hanya itu, sekeping medali perak masih diraih oleh punggawa-punggawa Merah-Putih lewat perjuangan Nova Widhianto/Liliyana Natsir di nomor Ganda-Campuran.
Sepak terjang Indonesia di Olimpiade cabang bulutangkis memang sangat manis. Sejak 1992, sedikitnya 3 medali menjadi persembahan yang mengharukan dari pasukan Merah-Putih.Masih dari bulutangkis, Indonesia juga menjadi negara tersukses di ajang Thomas Cup dengan mencatat kemenangan 13 kali dari 26 kali gelaran sejak 1949. Bayangkan saja, setengah dari jumlah gelaran, Indonesia mempersembahkan Thomas-Cup ke pangkuan ibu pertiwi. Di turnamen serupa, namun untuk putri, Uber Cup, Indonesia mampu meraih 3 kemenangan pada tahun 1975, 1994, dan 1996. Meski hanya mampu meraih 3 gelar di Uber Cup, kita patut berbangga diri, karena Indonesia berhasil ‘mengawinkan’ gelar Thomas dan Uber pada tahun 1994 dan 1996. Salah satu kebanggaan lain!
Selain Olimpiade dan Thomas-Uber, Indonesia juga masih menunjukkan tajinya di ajang prestisius All England. Prestasi paling gemilang di sejarah bulutangkis dunia diraih oleh pebulutangkis kita, Rudy Hartono. Betapa tidak, ia berhasil naik podium juara 8 kali dan 7 diantaranya direbutnya secara beruntun, tahun 1968-1974. Sebuah prestasi yang tidak main-main! Masih dari ajang All England, Liem Swie King juga mampu meraih 3 gelar juara di ajang tersebut. Liem Swie King bahkan menjadi salah satu pemain bulutangkis dunia yang mempunyai trade mark sendiri, yaitu King Smash, sebuah pukulan smash yang dilakukan sambil melompat yang menjadi ciri khas seorang King.
Sampai saat ini, torehan Indonesia pada cabang olahraga bulutangkis masih menjadi salah satu yang terbaik di dunia, dengan berbagai macam gelar yang sudah diboyong ke tanah air Indonesia. Tidak hanya di ajang-ajang besar seperti di atas, di level turnamen yang lebih rendah, seperti Super Series, Grand Prix Gold, Grand Prix, dll, Indonesia masih mampu bersaing dengan negara-negara kuat lainnya di dunia. Sampai saat ini, masih ada nama-nama lainnya yang sempat mengukir prestasi untuk Indonesia, sebut saja Deyana Lomban, Vita Marissa, Simon Santoso, Greysia Polii, Meiliana Jauhari, Alvent Yulianto, Hendra Aprida, Muhammad Ahsan, dll.Saat ini, tahun 2011, Indonesia memang sedang melemah, seringkali kita kalah dari negara-negara yang dulu sering kita kalahkan, seperti Cina, Malaysia, Korea Selatan, dll. Tapi dengan mengingat kedigjayaan Indonesia di masa lampau, semoga kita bisa bangkit, menorehkan sejarah baru yang tentunya tidak kalah besar dari sejarah-sejarah yang dulu dipahat oleh pahlawan-pahlawan bulutangkis kita. Semangat, punggawa bangsaku! Berjuanglah! Kibarkan sang saka Merah-Putih dimanapun kalian berjuang!
(Artikel ini diambil dari http://sejarah.kompasiana.com/2011/05/10/bulutangkis-dan-sang-saka-merah-putih/)
No comments:
Post a Comment