Gambar Wayang ini diambil dari http://www.wayang.wordpress.com
Pertunjukan Wayang Kulit, diambil dari http://www.agoenk85waone.blogspot.com
Seni Budaya (Wayang) Sebagai Media Dakwah
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung (QS Ali Imron : 104) .
Kegiatan berdakwah sudah ada sejak adanya tugas dan fungsi yang harus diemban oleh manusia di belantara kehidupan dunia ini. Hal itu dilakukan dalam rangka penyelamatan seluruh alam, termasuk di dalamnya manusia itu sendiri. Namun kegiatan dakwah sering kali dipahami, baik oleh masyarakat awam ataupun sebagai masyarakat terdidik, sebagai sebuah kegiatan yang sangat praktis, sama dengan tabligh (ceramah). Kegiatan dakwah itu terbatas hanya di majelis-majelis taklim, mesjid-mesjid dan mimbar-mimbar keagamaan.
Sebagaimana semarak dakwah (dalam dimensi tabligh) yang terjadi dewasa ini, di satu sisi merupakan perkembangan yang cukup menggembirakan, sebagai indikator ghirah keagamaan masyarakat mulai tumbuh kembali. Tapi di sisi lain, secara kualitatif, kegiatan tablighdi atas kurang sepenuhnya mengena pada tujuan akhir dari kegiatan dakwah itu sendiri, dan tidak membuat banyak perubahan khalayak dakwah (mad’u). Pasalnya, para pelaku dakwah nampaknya masih banyak yang belum memahami strategi, metode, bahkan mengenai hakikat dakwah itu. Sehingga aktivitas dakwahnya terkadang hanya menekankan pada aspek mobiilitas saja, dan tidak sampai pada peningkatan pemahaman mengenai ajaran islam yang menyentuh dimensi hidup dan kehidupan manusia.
Eksistensi dakwah tidak dapat dipungkiri oleh siapa pun, karena kegiatan dakwah sebagai proses penyelamatan umat manusia dari berbagai persoalan yang merugikan kehidupannya, merupakan bagian dari tugas dan fungsi manusia yang sudah direncanakan sejak awal penciptaan manusia sebagai khalifah fil al-ardh. “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”( Q.S Al-Baqarah : 3, 30)”.
Dakwah bersifat multidimensi dan selalu bersentuhan dengan aneka realitas. Untuk keperluan pemahaman sifat objek kajian yang demikian, maka sangat diperlukan pendekatan empiris. Alqur’an ternyata berulang kali memerintahkan supaya manusia meneliti secara empiris fenomena alam termasuk fenomena yang ada pada diri manusia dan sejarah. Bahkan perintah pertama Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi saw adalah supaya membaca (memahami) ayat-ayat kauniyah. Sebab perintah iqra’ tidak menyebut objeknya secara khusus, dan nabi saw sendiri ketika itu tidak sedang menghadap tulisan disamping beliau adalah ummi.
Budaya dan Dakwah
Pendekatan dakwah intra dan antarbudaya, yaitu proses dakwah yang mempertimbangkan keagamaan budaya antarda’I dan mad’u, dan keagamaan penyebab terjadinya gangguan interaksi pada tingkat intra dan antarbudaya agar peran dakwah dapat tersampaikan dengan tetap terpeliharanya situasi damai.
Dengan demikian, pendekatan dakwah intra dan antarbudaya adalah : pendekatan budaya damai sebagai salah satu watak dasar islam sebagai agama perdamaian.
Budaya (dari kata budhi artinya akal dan daya artinya kekuatan atau dorongan) berarti kekuatan akal karena kebudayaan manusia merupakan ukuran pencurahan kekuatan manusia yang berpangkal pada akal, baik akal pikiran, akal hati maupun akal tindakan. Budaya berarti juga akal-budi, pikiran dan cara berperilakunya, berarti pula sebagai kebudayaan. Kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia yang diperoleh melalui pembiasaan dan belajar, beserta hasil budi dan karyanya itu. Jadi secara sederhana, kebudayaan adalah hasil cita, cipta, karya, dan karsa manusia yang diperoleh melalui belajar.
Di balik keberagamannya, Indonesia juga merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Dari sekitar 230 juta jiwa lebih penduduknya 85,2% adalah Muslim. Dalam sejarahnya, proses islamisasi di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari peran besar Walisongo.
Jika kita memperhatikan pola penetrasi budaya yang mereka lakukan ternyata para Walisongo ini sama sekali tidak menempuh jalur kekerasan sedikit pun. Namun mereka amat memahami pluralitas yang ada di Indonesia dan secara bijak larut ke dalamnya dan turut berpartisipasi dalam menentukan alur sejarah bangsa. Mereka juga terlibat dalam peran-peran pembaruan dan pencerdasan masyarakat.
Hal ini menjadi menarik untuk dicermati seiring saat ini isu pluralisme tengah menghangat. Seperti kata sebuah ungkapan “Seringkali bukan masalah benar dan salah yang menyebabkan kita berselisih,namun hanya karena kita berbeda seringkali kita berselisih.” Potensi keanekaragaman ini jangan sampai menjadi kontraproduktif bagi bangsa dan negara. Dengan memahami sejarah banyak pelajaran yang bisa kita ambil dalam konteks masa kini. Kiprah para Walisongo bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita mengenai sikap bijaksana dalam menyikapi perbedaan.
Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat. Walisongo muncul saat runtuhnya dominasi kerajaan Hindu Budha di Indonesia. Walisongo terdiri dari sembilan orang; Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kalijaga.
Kesembilan “wali” yang dalam bahasa Arab artinya “penolong” ini merupakan para intelektual yang terlibat dalam upaya pembaharuan sosial yang pengaruhnya terasa dalam berbagai manifestasi kebudayaan mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.
Yang menarik dari kiprah para Walisongo ini adalah aktivitas mereka menyebarkan agama di bumi pertiwi tidaklah dengan armada militer dan pedang,tidak juga dengan menginjak-injak dan menindas keyakinan lama yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang saat itu mulai memudar pengaruhnya, Hindu dan Budha. Namun mereka melakukan perubahan sosial secara halus dan bijaksana. Mereka tidak langsung menentang kebiasaan-kebiasaan lama masyarakat namun justru menjadikannya sebagai sarana dalam dakwah mereka. Salah satu sarana yang mereka gunakan sebagai media dakwah mereka adalah wayang.
Pementasan wayang konon katanya telah ada di bumi Nusantara semenjak 1.500 tahun yang lalu. Masyarakat Indonesia dahulu memeluk kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar. Pada mulanya sebelum Walisongo menggunakan media wayang, bentuk wayang menyerupai relief atau arca yang ada di Candi Borobudur dan Prambanan. Pementasan wayang merupakan acara yang amat digemari masyarakat. Masyarakat menonton pementasan wayang berbondong-bondong setiap kali dipentaskan.
Sebelum Walisongo menggunakan wayang sebagai media mereka, sempat terjadi perdebatan diantara mereka mengenai adanya unsur-unsur yang bertentangan dengan aqidah, doktrin keesaan Tuhan dalam Islam. Selanjutnya para Wali melakukan berbagai penyesuaian agar lebih sesuai dengan ajaran Islam. Bentuk wayangpun diubah yang awalnya berbentuk menyerupai manusia menjadi bentuk yang baru. Wajahnya miring, leher dibuat memanjang, lengan memanjang sampai kaki dan bahannya terbuat dari kulit kerbau.
Dalam hal esensi yang disampaikan dalam cerita-ceritanya tentunya disisipkan unsur-unsur moral ke-Islaman. Dalam lakon Bima Suci misalnya, Bima sebagai tokoh sentralnya diceritakan menyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Esa itulah yang menciptakan dunia dan segala isinya. Tak berhenti di situ, dengan keyakinannya itu Bima mengajarkannya kepada saudaranya, Janaka. Lakon ini juga berisi ajaran-ajaran tentang menuntut ilmu, bersikap sabar, berlaku adil, dan bertatakrama dengan sesama manusia.
Dalam sejarahnya,para Wali berperan besar dalam pengembangan pewayangan di Indonesia. Sunan Kali Jaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam mengembangkan Wayang. Bahkan para wali di Tanah Jawa sudah mengatur sedemikian rupa menjadi tiga bagian. Pertama Wayang Kulit di Jawa Timur, kedua Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah, dan ketiga Wayang Golek di Jawa Barat. Masing masing sangat bekaitan satu sama lain yaitu “Mana yang Isi (Wayang Wong) dan Mana yang Kulit (Wayang Kulit) dan mana yang harus dicari (Wayang Golek)”.
Di samping menggunakan wayang sebagai media dakwahnya, para wali juga melakukan dakwahnya melalui berbagai bentuk akulturasi budaya lainnya contohnya melalui penciptaan tembang-tembang keislaman berbahasa Jawa, gamelan, dan lakon islami. Setelah penduduk tertarik, mereka diajak membaca syahadat, diajari wudhu’, shalat, dan sebagainya. Sunan Kalijaga adalah salah satu Walisongo yang tekenal dengan minatnya dalam berdakwah melalui budaya dan kesenian lokal.Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, layang kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Kesimpulan
Urgensitas penyampaian pesan nilai-nilai ilahi yang disampaikan oleh para Walisongo, telah dibungkus dan dikemas dengan semenarik mungkin. Hal ini menyebabkan ketertarikan dari masyarakat yang ingin mempelajari ajaran islam. Kedamaian, kehalusan, dengan penyampaiannya tanpa menggunakan kekerasan dan menginjak-injak citra suatu golongan, telah memberikan citra yang baik terhadap mereka.
Mereka adalah penolong bagi masyarakat Indonesia yang memang pada saat itu dikenal memiliki kepercayaan animisme, hampir jatuh pada hal-hal yang berbau musrik dan yang merusak aqidah masyarakat Indonesia.
Artikel ini diambil dari http://www.mediaindonesia.com/citizen_read/573
No comments:
Post a Comment